CALON TUNGGAL. Keren ya! Karena disebut TUNGGAL, maka identik dengan seorang diri, tanpa ada lawan. Kalau dalam pertandingan, disebut sebagai pemenang tanpa lawan.
Jika menang tanpa lawan atau tanpa bertanding, ada beberapa penyebabnya, diantaranya karena benar-benar di kelas (cabang) yang dipertandingkan, tidak ada lawan sebanding. Atau ada kejenuhan dari para lawan tanding, disebabkan pertandingan tidak seimbang, karena wasit atau penyelenggara tidak berlaku adil. Apakah itu dalam persyaratan kepesertaan atau aturan pertandingan.
Dari pada bertanding dengan aturan yang tidak benar, lebih baik tidak mengikuti, dan biarkan saja si CALON TUNGGAL itu memenangkan pertandingan tanpa lawan.
Dimana kerugian pemenang tanpa lawan itu? Pertama, si CALON TUNGGAL tidak dapat mengukur seberapa kuat atau seberapa gesit dirinya dalam “menjatuhkan” atau memukul “telak” lawannya. Kedua, kemenangan itu, disebut sebagai kemenangan “banci”.
DI PANGGUNG POLITIK
Bagaimana dengan CALON TUNGGAL di panggung politik, yang saat ini sedang berjalan dengan sebutan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020, yang akan digelar pada 9 Desember 2020.
CALON TUNGGAL itu terbagi dalam dua versi, yakni CALON TUNGGAL sebagai kader partai dan bukan kader partai. Kedua-duanya, bisa sama-sama diusung dan didukung partai politik yang jumlahnya besar. Bisa saja si CALON TUNGGAL menguasai 80-100 persen dari jumlah partai politik yang ada di DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.
Perbedaan dari keduanya, hanya pada bilangan, seberapa besar cost politics (biaya politik) yang mereka miliki untuk meraih jumlah partai politik, demi meraih kemenangan.
Ingat dan catat! Di panggung politik, tidak ada istilah makan siang gratis. Artinya, makan siang itu butuh cost politics.
Sekarang ini, di Pilkada Serentak 2020, ada 25 CALON TUNGGAL di INDONESIA, yang akan bertarung melawan KOLOM KOSONG. Jumlah yang cukup fantastis dalam kurun waktu hanya 5 tahun saja, karena di tahun 2015 hanya ada 5 CALON TUNGGAL, di tahun 2018 ada 9 CALON TUNGGAL, dan di tahun 2019 ada 16 CALON TUNGGAL.
Begini, jika ada CALON TUNGGAL melaporkan harta kekayaannya dengan kisaran Rp5 miliar, kemudian mendapat “borongan” 7-10 partai politik. Mencukupikah kekayaannya untuk “melayani cost politics” bagi partai yang akan sosialisasi visi-misinya?
Itu masih untuk partai politik, lo!
Belum lagi, menyiapkan cost politics bagi lembaga-lembaga atau wadah sosial kemasyarakatan, yang selama ini sudah berduyun-duyun memberikan dukungan dengan berbagai ragam acara.
Mencermati kondisi di atas – bukan mau menakar kemampuan – bahwa sesungguhnya, CALON TUNGGAL itu, berat di cost politics, lo!
Ibarat kata pepatah orang tua, “apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur, mau mundur dikemanakan urat malu, mau melangkah terus, dimana mencari cost politics tambahan.”
Apalagi, terbetik kabar, bahwa menjelang detik-detik mencapai 2 minggu –H1, frekuensi lagu permintaan berbagai pihak semakin tinggi. Ada pula yang membisikkan, CALON TUNGGAL sudah klenang-klenong menemui berbagai pihak untuk mendapatkan asupan “dana segar” karena banyak pihak yang harus “dinina-bobokkan”.
Kalau tidak segera, yang ditakutkan CALON TUNGGAL, akan banyak pihak yang bergeser dan kehilangan arah. Jika tidak diakomidir, bisa-bisa yang sudah terbina selama ini, menentukan dan menetapkan pilihannya ke yang lain. Seru kan!
Nah, KOLOM KOSONG menunggu diisi, karena Peraturan KPU (PKPU) memberi ruang lebar untuk menampung tusukan demi tusukan dari setiap pemilik suara. Dan perlu diingat, bahwa KOLOM KOSONG, bukanlah ruang hampah tanpa penghuni. (***)
Discussion about this post