Penulis : Benget Silitonga
Untuk segala sesuatu ada masanya untuk apapun di bawah langit ada waktunya.
Rasanya, nats Alkitab dari Pengkotbah 3:1 tersebut pantas mengiringi purna tugas bang Pendeta Saut Sirait sebagai anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI 2012-2017.
Meraih impian tentu sebuah kebahagiaan, namun mengakhiri tugas dengan mulus adalah juga sebuah pencapaian. Hanya masalah yang membedakannya.
Penulis sejatinya tak punya pengenalan mendalam dan lengkap tentang Pendeta yang satu ini. Satu kepingan kisah yang mungkin sejenak mendekatkan kami adalah krisis di Gereja HKBP 1992-1998.
Saya ketika itu hanyalah mahasiswa naif dan bang Saut sebagai Pendeta muda yang sedang bergelora. Kami dipersatukan gerakan penolakan terhadap kesewenangan Penguasa yang mengintervensi tubuh Gereja HKBP.
Kisah yang tak terlupakan adalah berlari, bersembunyi dari kejaran aparat rezim orde baru dan tak lupa senantiasa melakukan diskusi dan perlawanan.
Saat itu, seingat saya pendeta Saut menjadi salah satu pendeta muda HKBP yang kritis bersikap dan teguh dengan keyakinan idealismenya.
Setelahnya, sesudah HKBP kembali utuh 1998, saya tak lagi punya kontak intensif dengan beliau. Yang saya tahu, beliau kemudian menjadi Pendeta yang berkiprah dalam dunia politik di sentrum Ibukota Jakarta.
Acapkali saya melihatnya di televisi dan membaca opininya di koran tentang kepemiluan dan demokrasi. Luar biasa. Pendeta berbicara politik melebihi para politisi!
Seingat saya beliau makin tersohor ketika berkiprah di KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu), sebuah organisasi masyarakat sipil terdepan yang menyuarakan pentingnya Pemilu dilaksanakan secara demokratik.
Selain tak mengenal lengkap dan intensif saya juga haqul yakin, Pendeta Saut bukanlah manusia yang sempurna, apalagi Pandeta yang ideal. Banyak pihak pasti punya pandangan miring terhadapnya.
“Pendeta kok ngerjakan yang lain”, begitu mungkin gumam sebagian orang. Namun terlepas dari semua keterbatasan dan kontroversi tentangnya, satu hal yang pasti adalah bahwa ia telah “menuliskan” sejarah, beliaulah (mungkin satu-satunya) (Pendeta) penyelenggara pemilu paling komplit yang pernah dimiliki Indonesia (pernah jadi outsider di KIPP, dan jadi insider di Panwaslu, KPU, dan DKPP).
Sebuah pencapaian unik dan “keberuntungan” yang tak bisa didapatkan semua penyelenggara pemilu, apalagi seorang Pendeta.
Tak terbantahkan, Pendeta HKBP yang berasal desa Narumonda, Porsea, Sumut ini telah meng-Indonesia. Tugas yang diemban dan pergaulannya beyond lintas suku dan agama yang selama ini bagi sebagian besar orang mungkin menjadi momok, namun baginya menjadi pupuk yang mempertebal iman Ke-Indonesiaannya.
Saut bisa disebut Pendeta langka. Pendeta yang “bergerilya” di kancah sosial politik. Pada dirinya kependetaan merendah, keluar dari kotak amannya, menggarami dan menerangi pemilu, kepemudaan, hingga sepakbola!
Hal itu bisa terjadi karena beliau mampu membumikan kependetaannya saat menjalankan tugas kenegaraan yang diemban tanpa harus kehilangan karakter atau orisinalitasnya.
Beliau selalu percaya bahwa “invisible hands” yang imani adalah penentu dalam segala pikiran, rencana dan kehendak yang dilakoninya. Yang terpenting bagi Saut adalah manusia harus terus memproduksi impian dan pekerjaan baik, walaupun dia tahu hal itu sesuatu yang “impossible”.
“Keberanian mendahului keberhasilan”, begitu tuturnya selalu memberi semangat.
Walau jadi sedikit primordialistik, tidaklah salah kalau warga Sumut sepatutnya berbangga bahwa ada putra terbaiknya, seorang Pendeta, yang selama ini telah menjahit ke-Indonesiaan dengan begitu tekun dan luar biasa lewat aktivitas kepemiluan dan demokrasi.
Saut Sirait seolah menjadi antitesa terhadap tesis yang menyebut Sumut ini miskin dengan putra-putri terbaik yang cakap mewarnai taman Indonesia dengan kuntum kebajikan.
Sekali lagi, selamat purna tugas bang Saut Sirait. Bangga dengan torehan dedikasi dan ketekunan itu.
Semoga tidak jemu-jemu menjadi Pembelajar bagi kami yang masih bertugas. Selamat melayani di medan pelayanan yang baru. GBU.
Editor : Poltak Simajuntak
Sumber : FB Benget Silitonga (Medan, 13 Juni 2017).