Saat menerima hasil Tes Swabku POSITIF dari Laboratorium Klinis Global Health Medan, 22 September 2020, sekira pukul 17.00 Wib, sejenak aku tertunduk. Menangis rasa tak percaya.
“Maaf iya, aku positif…” kataku ke istri. Di otakku selain ketakutan mati dan dikuburkan secara protokol Covid seperti yang sudah banyak kusaksikan, juga akan nasib istri dan penghuni rumah ini. Maaf… kataku lagi.
Duniaku runtuh. Aku langsung nyungsep ke titik paling rendah. Mataku panas dan berair. Kupandang nanar ke langit dari teras rumah. “Tuhan kok aku yang Kau pilih?”
Ketakutan terus menjalari ruang sadar otakku. “Kau Comorbid. Ring jantung 6. Riwayat tekanan darah tinggi. Bekas penderita TB Paru dan fikiran buruk terus datang. Imanku terguncang. Penyesalan sudah terlambat. Aku terkena Covid seperti yang di tv itu. Seperti yang di medsos itu. “Iya… aku positif Covid!” dalam hati.
Si istri datang, menopang. “Kita hadapi. Jika Tuhan telah meluputkanmu dari sakit jantung setahun lalu, Dia juga akan meluputkan kita dari Covid ini. Ayo kita berdoa. Kita serahkan pada Tuhan. Kita tak punya kekuatan apa-apa….” ajak istri.
Orang pertama di luar penghuni rumah yang datang setelah kami beritahu hasil Swab itu adalah pasutri Galbred Simatupang dan Rina Simanjuntak. Memakai APD lengkap, kami duduk berhadapan di teras rumah.
“Maaf Ompung… aku positif,” kataku sambil berurai air mata. Terselip rasa salutku untuk keberanian mereka berdua datang walau sudah tahu aku positif Covid.
“Ompung jangan minta maaf. Ini harus kita hadapi. Ompung harus tegar. Tenang Pung Tuhan kita baik. Lebih berkuasa dari Covid. Ompung akan dapat layanan pengobatan maksimal dari Prudential,” katanya.
Untuk menyemangati, si ompung doli Galbred Simatupang malah mengajak agar aku tidak bermuka murung. “Senyumlah,” katanya sambil memotret dengan HPnya.
Istri langsung sibuk memberesi perlengkapanku untuk isolasi di RS. Pilihan dan rekomendasi Galbred adalah Columbia Asia. Tiba di UGD RSCA Jl Listrik, kami temui kenyataan tak ada ruang kosong isolasi.
Ditawarkan dirawat sementara di ruang UGD, menunggu ada pasien yang pulang. Kami pilih untuk pulang ke rumah saja.
Pertimbangan, semalaman menunggu di UGD tanpa kepastian, kurang baik ke mentalitasku yang sudah kadung jatuh.
Keesokan harinya, dengan berbagai pertimbangan, apalagi atas jasa baik seorang mantan penderita Covid Sabar Sianturi, telah pula menghubungi RS Bunda Thamrin. Dan kamar tersedia.
“Saranku ke RSBT aja. Aku sembuh dari sana. Lagipula di sana dan hanya di sana ada ruang terbuka di Lantai 10 tempat berjemur, olahraga dan ketemu dengan pasien lain. Setiap hari kita bisa di sana jadi tidak stress. Dan cepat sembuh,” katanya.
Kamipun berketetapan hati ke RSBT. Di UGD, langsung dapat layanan standar. Istri urus administrasi. Saya menjalani serangkaian pemeriksaan hingga Scan Thorax, ke gedung lain RSBT.
Walau tak jauh, tapi saya diangkut pakai ambulance ke bagian CT Scan, gedung sebelah. Masih sempat bertemu Rudyard Simanjuntak yang sengaja datang ke UGD menyemangatiku.
Tak lama menunggu, di sorong masuk ke ruang Scan. Dinginnya minta ampun. Di suruh buka baju pula. Saking dinginnya, gigiku gemeretak sampai terasa ngilu. Aku menggigil hebat.
Apalagi ketika disuruh rebah di atas bed mesin itu. Ternyata basah sebab disemprot dulu dengan cairan desinfektan. “Aku kedinginan,” kataku. Penderitaan pertama.
Tak lama. Hanya 20 menit, saya keluar dari kulkas besar itu. Kembali naik ambulance ke UGD gedung sebelah.
“Ini ada bayang-bayang, pertanda virus itu sudah mulai menginfeksi paru. Tapi masih sedikit. Akan kita tangani di sini. Kata dokter UGD itu,” dengan ekspresi tidak mencemaskan.
Aku coba cari tahu. “Parah Dok? Soalnya aku pernah TB Paru 8 tahun lalu. Pasang Ring setahun lalu. Gimana dok?” tanyaku.
“Oh. Gambar ini menunjukkan tidak parah. Hanya selayang berembun di sini, di sini dan ini… Gpp. Dah berapa tahun TB parunya dan berobat tuntas kan?” tanyanya balik dengan tenang dan senyum.
“Delapan tahun lalu dok. Sejak itu aku henti merokok. Dan aku berobat tuntas dan dinyatakan sembuh waktu itu,” kataku. Ditimpali si dokter itu dengan mengatakan sudah tak ada hubungannya lagi.
“Tenang saja. Sembuh ini. Jangan terlalu difikirkan. 98 persen pasien Covid yang datang tepat waktu sembuh. Dan bapak datang waktu yang tepat,” katanya sangat menguatkanku.
Sebagai pasien pemilik Kartu Hitam Prudential PPH Plus, saya dimasukkan ke ruang rawat isolasi 1 bed di kamar 646, lantai 6.
Tiba di ruang rawat, dipasangi three way infus di tangan. Di beri gelang tanda pasien dan langsung diberi beberapa obat.
“Dari tempat bapak ini, pulang sembuh. Dan hampir semua sembuh dari sini. Yang penting bapak mau menjalani dengan senang hati. Berdoa dan nyanyi-nyanyi. Pagi dan sore berjemur dan olahraga. Paksa habiskan makanan setiap hari. Pasti bapak sembuh!” kata si perawat itu sambil memberesi aku.
Seketika bayangan seram jika dirawat di isolasi sirna. Ternyata yang di tv tv itu hanyalah sebuah tayangan yang tak mengedukasi dan tidak menguatkan. Si perawat, dokter di sini tidak memperlakukan pasien sebagai Pengidap Covid yang seram itu.
Canda, motivasi dan kedekatan mereka pertunjukkan. Itu berlangsung dari hari pertama hingga hari ke delapan dinyatakan negatif. Setiap kali bell panggil perawat kupencet, tak selang berapa menit sudah ada yang datang.
“Apa yang perlu pak? Ada keluhan?”selalu dengan ramah dan respek. Pernah suatu ketika aku merasa kembung. Mules, hingga menjadi sesak nafas. Fikiranku sudah entah kemana. Kupencet bell.
“Ok Pak. Saya hubungi dulu dokternya,” kata si perawat. Tak lama, seorang dokter datang dan mulai periksa pakai stetoskop. Dia pukul-pukul perutku dan memang bunyi.
“Bapak kembung. Asam lambung bapak meningkat. Begitu diobati akan hilang. Jadi bapak sesak bukan karena apa-apa. Merasa sesak karena tekanan gas di perut ke atas. Begitu buang angin nanti beres itu,” katanya sambil memberi isyarat dan perintah ke perawat. Injeksikan obat kembungnya. Penderitaan kedua.
Itu bukanlah hal terberat kuhadapi sejak jadi penghuni ruang isolasi ini. Yang paling berat adalah kehilangan rasa dan penciuman. Setiap jam makan, maka perjuangan menahan muntah di mulai.
Dari suapan pertama hingga terakhir, adalah penderitaan. Bau makanan berobah menjadi aroma yang mengundang mual dan muntah. Sementara diwajibkan ada yang melapisi perut apalagi dijejali antibiotika, vitamin dosis tinggi dan berbagai zat obat lain. Baik oral maupun infus.
Salah satu cara adalah paksakan terus. Walau dengan air mata, keringat dan ketakutan. Masukkan nasi, sorong dengan air putih. Masukkan lauk, sorong dengan air putih. Masukkan sayur, sorong air putih. Waktu makan berobah.menjadi upacara “tolong Tuhan…”
Hari kelima dirawat di ruang isolasi, sekonyong-konyong terlintas bau minyak kayu putih yang memang kuletakkan dekat bantal tidurku. Kupastikan. Kucium. Terasa. Kubuka tutup botolnya, kutumpahkan ke telapak tangan dan kucium dalam. “Tuhan, penciumanku sudah Kau kembalikan…!”
Itu doaku setiap kali berdoa mau tidur. Doa makan. Kadang doa selayang sambil kupandangi dinding ruang rawat itu. “Tuhan kembalikan rasaku. Kembalikan penciumanku.” Bolak balik kuucapkan.
Mulai hari itu, walau belum punya selera makan, tapi rasa mual mencium bau makanan tidak ada lagi. Aku bisa makan dengan normal tanpa pakai sorong air putih.
Sesuai jadual yang ditetapkan dokter, bahwa hari ke 8, atau setelah 7 hari diobati, tepatnya 29 September 2020, aku akan menjalani SWAB.
Malamnya, saya tak tidur. Gelisah. Menunggu waktu itu. Dalam doaku, aku belum berani meminta hasil Swab negatif. Sebab yang kudengar dari kawan-kawan sesama pasien saat olahraga pagi dan sore di lantai 10, belum ada yang negatif di Swab Pertama.
“Aku sudah 5 kali Swab, tetap positif walau aku sudah merasa tidak ada apa-apa,” kata seorang anak muda asal Tembung yang sudah dirawat di tempat ini lebih dari 21 hari. Yang lain mengaku sudah 3 kali. Yang lain sudah 2 kali. Belum ada yang sekali.
Jelang pagi aku berdoa. “Tuhan, aku akan Swab pagi ini. Kumohon mujizatMu. Tapi apapun hasilnya, kehendakMulah yang terjadi atas aku. Amin,” doaku. Aku tak berani meminta hasilnya negatif.
Betul, pagi, seorang petugas laboratorium datang. APDnya berwarna Kuning beda dengan perawat dan dokter yang umumnya Putih.
“Kita Swab pak iya. Setelah ini nanti, bapak akan dibawa untuk Scan Thorax. Hasil Swab, kami usahakan sore,” katanya ramah.
Tak lama berselang, perawat datang bawa kereta dorong. “Pagi Bos. Gimana? Sehatkan? Kita ke gedung sebelah sebentar. Scan Thorax,” katanya ramah dan semangat.
“Kami harus terus gembira Pak walau sudah sebulan tidak ketemu anak istri di rumah. Sebab tanpa gembira dan semangat, imun kami akan menurun, sementara tiap hari dengan pasien Covid. Bisa pula jadi gantian kita. Hahaha….” katanya sambil mendorongku keluar kamar.
Kami ternyata berdua di ambulance ini. Dia marga Sitompul, pegawai OJK juga sudah lebih 3 minggu dirawat tapi masih tetap positif. “Semoga kali ini hasilnya kita Negatif Pak,” katanya saat menunggu giliran.
Saya bisikkan ke perawat yang mendampingi kami. “Aku tak tahan dingin di dalam.” Dia beri isyarat tenang aja.
Di dalam setelah rebah, petugas itu memberi penutup badan. “Nanti begitu saya minta buka, lepaskan selimutnya iya Pak,” katanya. Hanya 15 menit, urusan Scan Thorax tuntas.
Rasa hausku mengeringkan tenggorokan saat menunggu giliran Sitompul di dalam. Kucoba cari-cari air tak ada. Ke pegawai di front office kutanya air dijawab tak ada pak. Sempat kebingungan juga.
Kepada seorang dokter perempuan yang sedari tadi sibuk wara wiri dari dan ke ruang radiologi itu lewat hadapanku. “Ci, Ci… Dok, dokter! Boleh minta air putih? Aku haus kali,” kataku penuh harap.
Dengan spontan dia setengah berlari ke arah depan. Tak lama di tangannya ada air mineral cup dan pipetnya. “Ini Pak. Silahkan minum,” katanya sangat ramah.
Ternyata dia sedang mendampingi pasien VVIP yang juga mau Scan Thorax. Kutanya perawat yang baru keluar dari ruang kontrol, siapa itu dokter yang ramah itu. Sedari tadi sibuk urusi pasien.
“Oh itu Pak. Bos pemilik RS ini,” katanya. Bah! Salut. Dia bukan menyuruh orang mencari air. Dia sendiri. Walau dia juga sibuk mendampingi pasien VVIP lain. Hebat.
Seperti biasa, sore hari lebih cepat sekira pukul 15.30 Wib, saat matahari terik betul, aku naik ke roof top. Olahraga dan mencari udara dan pemandangan segar. Dari ketinggian itu, kusaksikan puluhan tukang bangunan bekerja di bawah terik. Mereka sehat. Menyemangatiku juga.
Ke bagian lain kulayangkan pandang. Ada rumah anakku Rudyard Simanjuntak tepat di belakang RS ini. Tempatku biasa curi-curi makan indomie uenak. Di belakangnya lagi tampak atap rumah mertuaku. Gg Turi 2 No 46. Dan di belakangnya lagi ada bangunan gagah Gereja GBKP dan HKI dengan anjungan yang tinggi.
Berharap aku bisa menjalani yang kupandangi itu kembali. Membuatku rindu kebebasan. Bebas dari isolasi ini.
Tiba- tiba, saya dapat telepon dari perawat Lt 6. “Pak, segera turun. Dokter mau visit virtual. Ini kami sedang jalan ke ruangan pasien lain. Cepat iya Pak!,” katanya memaksa. (Bersambung ke bagian kedua).
Simalungun - Konstruktif.id | Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Calon Gubernur/Wakil Gubernur Sumatera Utara dan…
Simalungun - Konstruktif.id | Tim Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) Lapas Narkotika Kelas IIA Pematangsiantar melakukan…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Kanit Binmas Polsek Siantar Timur AIPTU P. Simanjuntak selaku Perwira pengawas…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Kapolres Pematangsiantar AKBP Yogen Heroes Baruno SH. SIK pimpin Apel Pergeseran…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Dukung Pengamanan Pilkada 2024 ,Sebanyak 61 personel Sat Brimob Polda Sumut…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Siap Jaga Keamanan Pilkada 2024 Personil Polres Pematangsiantar mengikuti Latihan Pengendalian…