Jakarta | Konstruktif.id – Hakim tinggi Binsar Gultom menilai Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok hingga Baiq Nuril merupakan korban UU Informasi dan Transaksi Elekronik (ITE). Binsar yang mengadili Jessica Kumala Wongso itu kini masuk 55 besar calon pimpinan Komisi Yudisial (KY).
Pendapat Binsar di atas dituangkan dalam bukunya ‘Pandangan Kritis Seorang Hakim-4’ yang terbit awal tahun ini. Kasus Ahok-Baiq Nuril ditulis terkait bab ‘Peran Hakim untuk Menilai Kekuatan Pembuktian Tindak Pidana Umum’. Binsar menelaah soal alat bukti elektronik pasca putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016.
Menurut hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Banten itu, pasca putusan MK, maka seluruh informasi dan dokumen elektronik yang dapat menjadi bukti harus diperoleh berdasarkan prosedur sesuai Pasal 31 ayat 3 UU ITE.
“Di luar itu, dokumen elektronik tidak diperbolehkan sebagai bukti,” ujar Binsar dalam buku yang dikutip detikcom, Kamis (16/07/2020).
Oleh sebab itu, kata Binsar, aparat penegak hukum akan menghadapi tantangan baru dalam menyikapi putusan MA.
Binsar mengajukan pertanyaan krusial, yaitu apakah rekaman tindak pidana, yang diambil oleh pribadi yang ada dalam suatu tempat yang privat tidak dapat menjadi bukti pidana?
“Kasus ini dialami oleh Baiq Nuril yang dengan sengaja menyebarkan hasil rekaman pelecehan verbal yang dilakukan kepala sekolah di Mataram. Sebab menurut Pasal 26 ayat 1 UU ITE, terdakwa harus terlebih dahulu meminta izin dari pelaku peristiwa pidana,” papar doktor jebolan Universitas Sumatera Utara (USU) itu.
UU ITE, ujar Binsar, sayangnya belum merumuskan secara memadai kedudukan bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah.
“Sebab, ketidakcermatan dalam kasus seperti ini telah membawa korban, seperti kasus video dugaan penistaan agama yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok beberapa tahun lalu. Dengan proses sidang, terdakwa Buni Yani telah mengaku telah memotong kata ‘pakai’ pada transkrip pidato Ahok. Demikian juga kasus Baiq Nuril terkait dengan UU ITE yang telah dipolitisasi menjadi kasus politik,” ujar dosen Pascasarjana Universitas Esa Unggul, Jakarta itu.
Sekedar diketahui, Binsar juga pernah mengadili kasus pelanggaran HAM Berat di Timor Timur dan Tanjung Priok (tahun 2001-2005). Setelah itu ia malang melintang di pelosok negeri untuk mengadili berbagai perkara.
Pada 2015, ia menjadi hakim PN Jakpus dan mengadili Jessica. Setelah itu, ia dipromosikan menjadi hakim tinggi Bangka Belitung dan kini menjadi hakim tinggi di PT Banten. (dtc/k2)