Jakarta | Konstruktif.id – Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, menyayangkan keputusan Mendikbud Nadiem Makarim yang memperbolehkan sekolah melakukan kegiatan belajar mengajar tatap muka. Alasannya, dasar zona kuning dan hijau yang digunakan mantan bos GoJek ini, tidak valid atau menyesatkan.
“Zona-zona itu menyesatkan. Justru semua daerah harus waspada tinggi. Kita berada di era pandemi dan penularan penyakit bukan berdasarkan wilayah tapi gerak penduduk,” ujar Pandu Riono dengan nada geram.
Sistem zonasi dibagi menjadi tiga oleh pemerintah yakni merah, kuning atau oranye, dan hijau. Merah berarti bahaya karena tingkat penularan tinggi. Sementara kuning atau oranye artinya penyebaran Covid-19 rendah dan hijau adalah tidak terdampak atau tidak ada kasus baru.
Hanya saja menurut Pandu, pembagian zona tersebut tidak akurat. Sebab penentuan suatu daerah menjadi merah, kuning, atau hijau, bergantung pada pengujian.
Tes ini juga tergantung pada kapasitas atau kepala daerah dalam mendorong adanya testing. Ada daerah yang tidak melakukan demi citra daerah hijau karena jelang pilkada. Istilah zona-zona itu tidak terinformasikan secara akurat.”
“Ini (zona) kesalahan fatal Satgas untuk membuka kembali ekonomi berdasarkan kasus.”
Itu mengapa ia mengusulkan Mendikbud merancang kurikulum baru yang bisa beradaptasi di tengah pandemi sehingga bisa berjalan secara berkelanjutan.
“Harusnya Mendikbud berpikir bagaimana belajar di era pandemi terus berlangsung sehingga zona-zona itu menjadi tidak penting.”
Opsi yang coba ia lontarkan adalah kurikulum kombinasi atau hibrid yakni memasukkan beberapa kegiatan tatap muka dan nontatap muka.
“Misalnya ada tatap muka tapi tidak setiap hari. Lima hari belajar, tapi tatap muka cuma dua hari itupun tiga jam setiap hari. Dengan begitu intensif dibina. Kalau semua masuk kelas, akan ada kluster baru penyebaran.”
Pandu juga meminta Kemendikbud berkaca pada kejadian penutupan sekolah di sejumlah negara seperti Israel, Amerika Serikat, dan Korea Selatan.
Di Israel misalnya, seluruh siswa akhirnya dirumahkan karena menyebarnya Covid-19. Dalam hitungan hari, virus menyebar ke rumah siswa dan lingkungan sekitar. Ratusan guru, siswa, dan keluarga, diketahui terinfeksi Covid-19.
Begitu pula di Negara Bagian Georgia, AS, lebih dari 200 karyawan sekolah dilarang bekerja. Sedangkan di Negara Bagian Indiana, siswa menengah beralih ke pembelajaran jarak jauh atau online setelah dua hari kembali ke sekolah.
Apa jawaban pemerintah?
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adian, mengklaim keputusan pemerintah membuka kembali sekolah di zona kuning dan hijau, dilakukan dengan sangat hari-hati dan tidak terburu-buru.
Itu mengapa dalam persyaratan membuka kembali sekolah, harus ada persetujuan empat pihak yakni pemerintah daerah, dinas pendidikan, kepala sekolah, dan komite sekolah.
“Jadi ya kalau memang orang tua merasa daerahnya aman ya tidak ada masalah (sekolah dibuka kembali). Tapi ini kan harus ada kesepakatan dengan orangtua, artinya kita ingin membuka tapi dengan syarat,” kata Donny Gahral kepada BBC News Indonesia, Minggu (09/08).
Kendati begitu, ia menampik anggapan jika pemerintah dianggap membuka lebar-lebar sekolah melakukan kegiatan belajar mengajar tatap muka.
Justru ia mengklaim, sederet persyaratan tersebut adalah cara “untuk menjaga agar tidak ada kesemena-mena’an sekolah melakukan belajar tatap muka”.
Pasalnya, kata dia, banyak pemerintah daerah dan orang tua yang menginginkan anaknya kembali belajar di sekolah karena mengalami kendala dalam pembelajaran jarak jauh. (BBC/K1)
Discussion about this post