HAJATAN itu sudah diagendakan, dan menjadi sebuah ketetapan yang seharusnya digelar, sesuai aturan dan peraturan.
Proses atau tahapannya, bahkan sudah dijalani, dan sudah menunjukkan tanda-tanda “kemenangan” bagi kubu yang sudah membangun mimpi-mimpi akan menduduki kursi pucuk pimpinan.
Merasa sudah “di atas angin”, ehhh… malah yang muncul prilaku aslinya, yang ternyata angkuh, sombong dan kelihatan feodalistik. Maunya disegani. Maunya ada batasan yang memperjelas indentitas seorang pemimpin dan yang akan dipimpin.
Yakhhh, terkesan ambisius. Begitulah!
GELISAH SG DITUNDA
Ke-ambisius-an yang merasuki alam pikiran itu, menjadi “terpenjarakan”, ketika sebuah musibah nasional bahkan internasional menggerayangi tatanan kehidupan, yakni pandemi Covid-19.
SG — yang diharapkan sebagai jalan masuk ke-ambisius-an itupun — menjadi terhenti, ketika pemerintah memberikan peringatan yang harus dipatuhi agar mata rantai sebaran pandemi Covid-19, terputuskan.
Sinyal dari pemerintah itu, “secepat kilat” diakomodir pucuk pimpinan SG, dengan mengeluarkan surat edaran yang isinya menunda SG.
Si ambisius — yang merasa sudah menang — sontak menjadi gelisah dan merasa tidak tenang. Bagaimana tidak, karena sejak awal bersama sejumlah temannya, sudah membangun gerakan “serep marhobas” untuk mengumpulkan dukungan sampai ke SG, tiba-tiba diperhadapkan dengan situasi yang memutar 180 derajat.
BAKAL GAGAL KEDUA KALI
Kata orang tua terdahulu, ketika rasa ambisi yang berlebihan menjadi lebih dominan, itu pertanda kegagalan sudah di depan hidung.
Kalau itu yang terjadi, maka si ambisius akan berada pada pengulangan situasi kegagalan mendapatkan kursi pucuk pimpinan hasil SG. Nah, bakal gagal kedua kalinya. Jangan menjadi munafik dalam permainan yang sebenarnya sudah diketahui.
Karena, ada yang harus dipahami, bahwa makanan yang sudah mau masuk ke mulut pun, bisa tak jadi dinikmati.
Pandemi Covid-19 bisa jadi berkat kegagalan bagi orang yang ambisius menduduki kursi pucuk pimpinan.
Jangan pernah merasa aman dan nyaman, di saat ada sesuatu yang sifatnya mengancam. Jangan pernah melupakan bahwa di dalam kekuatan kita, ada kekuatan lain yang menguatkannya.
“Serep marhobas”… Itu bukan kekuatan perseorangan. Itu kekuatan bersama, dan tidak bisa meninggalkan yang pernah bersama-sama.
Jika itu yang terjadi, maka pengingatnya ya pandemi Covid-19, yang harus diberi dukungan sepenuhnya sebagai alasan untuk menunda pelaksanaan SG.
Dan, mari untuk sama-sama memahami bahwa ambisius tidak dapat berada di atas semakin meningkatnya jumlah orang yang terpapar Covid-19.
Atau kata lainnya, ke-teologi-an yang ada dalam setiap perkataan, haruslah lebih membijakkan alur pikir, sehingga SG tidak semata-mata jadi tujuan.
Silahkan simpan ke-ambisius-an itu, karena masih ada yang harus dipikirkan, yaitu keselamatan banyak orang dari sergapan sebaran pandemi Covid-19. (***)
Discussion about this post