Ada dua peristiwa kerumunan massa di bulan November 2020 yang kini tengah diproses Polri atas dugaan tindak pidana melanggar prokes sesuai UU Kesehatan. Peristiwa ini viral dan menyita perhatian warga negeri dan dunia, meski sebelumnya sudah ada peristiwa kerumunan massa yang diproses Polri, seperti terjadi di sebuah kolam renang di kawasan Deliserdang dan hajatan dengan gelar dangdutan di salah satu kota Pulau Jawa.
Peristiwa pertama acara Maulid Nabi dirangkai dengan acara perkawinan di Petamburan. Peristiwa kedua, acara haul salah seorang tokoh di sebuah pondok pesantren di Tangerang.
Seiring dengan adanya penertiban atas kerumunan massa, ternyata pada 9-12 Desember 2020 esok, HKBP merencanakan melaksanakan Sinode Godang (serupa; Kongres/Munas) di Seminari Sipoholon, Tapanuli Utara. Lho, “nekat” benar melakukan itu ?
Memang benar, sinode ini seyogyanya dilaksakanan Oktober 2020 lalu. Pucuk pimpinan HKBP menunda atas pertimbangan pandemi Covid-19. Tetapi kan, Covid-19 belum bisa dikendalikan. Vaksin masih proses pengujian dan izin edar untuk bisa digunakan.
Dalam beberapa grup WA/Fb saya mencoba menggugah sahabat, agar bersama menyuarakan penundaan demi kesehatan warga HKBP itu sendiri. Tetapi informasi yang saya peroleh menyebut, itu sudah keputusan final. Para peserta/sinodestan juga sudah booking tiket.
Ketika saya mencari informasi di google, memang benar banyak menentang/menolak adanya penundaan. Dari beberapa alasan penolakan yang disebutkan, selain periodisasi yang sudah habis, pemerintah sendiri mengizinkan “Pilkada Serentak” 9 Desember 2020 yang diikuti dengan libur nasional.
Saya tercengang membacanya. Tatacara pelaksanaan Pilkada sangat berbeda dengan sinode. Bahkan urgensinya juga jauh beda. Apalagi jabatan bupati/walikota/gubernur adalah jabatan politik, yang terkait langsung dengan tatalaksana pemerintahan setiap daerah. Sementara Ephorus, Sekjen, Praeses dan perangkat lain adalah tugas pelayanan dan penggembalaan jemaatnya.
Pada Pilkada menurut pengamat politik, dapat mendorong “perputaran” perekonomian daerah itu sendiri melalui kegiatan yang sah dan tidak sah. Yang sah, misalnya memberi penyuluhan, pemberian bibit tanaman pada ukuran yang tidak melanggar aturan, payung, tenda becak dll. Yang tidak sah; bagi-bagi uang dengan sebutan bermacam-macam (seperti ; ingot-ingot, togu-togu ro, pasituak natonggi, tali kasih, pengertian calon), membagi sembako dan sejenisnya.
Kalau di Sinode Godang kan tidak ada bagi-bagi uang untuk pilih-memilih. Sebab bukan merebut jabatan duniawi. Semuanya untuk pelayanan jemaat. Makin dipilih, pasti makin menghamba. Bukan makin kaya seperti bupati/walikota. Mudah-mudahan saya tidak salah. Kalau salah mohon maaf.
Dalam proses pemungutan suara Pilkada, jumlah pemilih setiap TPS paling banyak 500 pemilih terdaftar. Keikut sertaan memberi suara juga +/- 50%. Bahkan di Kota Medan 5 tahun lalu hanya 25%.
Kedua; tenggang waktu pemungutan suara ada 5 jam. Karenanya sangat mungkin bisa menghindari kerumunan.
Ketiga; keberadaan TPS juga umumnya di areal terbuka memakai teratak/tenda. Tidak di gedung tertutup.
Sementara pelaksanaan sinode, pesertanya sekira 1.200 orang. Dilaksanakan di sebuah gedung. Pesertanya datang dari berbagai kota/kawasan, yang rentan terpapar dalam perjalanan.
Kemudian, acara-acaranya umumnya (pleno-pleno) diharuskan duduk bersama seluruh peserta, kecuali sidang-sidang komisi. Karenanya, seandainya ada yang terpapar di perjalanan, tidak tertutup kemungkinan menginveksi peserta lainnya.
Peserta sinode, khususnya para pendeta, secara umum saling mengenal, minimal mereka yang seangkatan di STT HKBP Siantar.
Karenanya keinginan saling menyapa, bertukar informasi di daerah pelayanan yang berbeda, akan intens terjadi. Maka jika ada yang sudah OTG diantaranya, tentu saja dapat menjadi sebuah rantai panjang penularan.
Karenanya, jika HKBP belum mampu melaksanakan Sinode Godang secara daring/virtual, adalah lebih bijaksana ditunda sampai setiap peserta sudah mendapat suntikan vaksin. Progres pemerintah, akhir Desember atau awal Januari, penyuntikan vaksin sudah bisa dilaksanakan. Bila di awal-awal tenaga kesehatan (nakes) serta polisi/TNI/ASN pelayanan umum yang diprioritaskan, berarti kisaran Maret-April sudah bisa untuk umum, minimal untuk peserta mandiri.
Lagi pula HKBP wajib turut serta berpartisipasi memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Jika HKBP belum bisa “memberi” sumbangan material kepada Satgas Penanggulangan Covid-19 di daerah masing-masing, setidaknya tidak ikut membebani tugas mereka. Itu juga bentuk partisipasi nyata.
Apalagi anggota (ruas) HKBP banyak yang dokter dan atau tenaga kesehatan, saya juga yakin mereka mendukung penundaan itu. Mereka sudah bekerja ekstra dan “menyabung” keselamatan keluarganya.
Cukuplah Rizieq dan FPI secara terang-terangan melawan kebijakan pemerintah tentang pencegahan Covid-19. HKBP tidak perlu ikut, apalagi meniru sikap seperti itu.
Presiden Jokowi baru-baru ini menyampaikan, sudah ratusan trilyun rupiah dana APBN dikucurkan menanggulangi Covid-19, karenanya perlu partisipasi seluruh masyarakat untuk bersama-sama/bekerja-sama /bahu membahu, melaksanakan protokol kesehatan dan menghindari kerumunan.
Apakah HKBP tidak bisa menuruti ajakan Presiden RI itu ? Yang mau jadi Ephorus atau Praeses sabar saja dulu hingga 4-6 bulan ke depan. Gunung tak lari dikejar. MelayaniNya adalah ibadah terbaikmu.
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Untuk memastikan setiap tahapan Kampanye dari semua pasangan Calon Walikota dan…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Polres Pematangsiantar melalui Kapolsek Siantar Barat IPTU Dian Putra, Sos.I., MH.,*…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Personil Satuan Samapta Polres Pematangsianțar melaksanakan pengamanan Objek Vital di wilayah…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Adanya pernyataan bahwa Penerbitan SIM C di Polres Pematangsiantar Rp 480.000…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Polres Pematangsiantar melalui Polsek Siantar Timur gerak cepat mengamankan enam orang…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Personel Unit Gakkum Satuan Lalulintas (Sat Lantas) Polres Pematangsiantar respon laporan…