Jakarta | Konstruktif.id
Peristiwa dugaan keracunan Gas, yang bersumber dari pembukaan sumur bor PT SMGP yang berada di WELLPAD T Desa Sibanggor Julu Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Provinsi Sumatera Utara, memakan korban 5 (lima) orang meninggal dunia dan korban di rawat di rumah sakit kurang lebih berjumlah 20 orang, Senin 25 Januari 2021, sekira pukul 12.00 WIB, sangat disesalkan.
Lembaga Koalisi Kawali Indonesia Lestari (KAWALI), menyampaikan rasa belasungkawa yang teramat dalam kepada
keluarga dan kerabat dari kelima korban meninggal dunia dan turut prihatin bagi warga yang menjadi korban lainnya.
“Kami sunguh menyesalkan kecelakaan ini terjadi yang seharusnya bisa dicegah, kalau perusahaan melakukan prosedur yang benar dan baik dalam pelaksanaannya,” sesal Puput TD Putra Ketua Umum KAWALI, kepada Konstruktif.id, Rabu (27/1).
Jelas Puput, PT Sorik Merapi Geothermal Power (PT SMGP) merupakan anak perusahaan OTP Geothermal, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
“Kita ketahui pada tahun 2014 perusahan ini pernah bermasalah dan informasi yang kami himpun izin perusahaan pada tahun 2014 pernah dicabut oleh Bupati. Bahkan sudah pernah di demo oleh masyarakat,” ujar Puput.
Menurut informasi yang ditelusuri oleh KAWALI, SMGP juga sudah diakusisi oleh perusahaan yang berbasis di Singapore.
“Perusahaan ini banyak bermasalah dengan warga setempat terutama masalah lahan dan limbahnya,” tambah puput, seraya menyampaikan kronologi pernasalahan yang ditimbulkan perusahaan ini.
Kata Puput, Tahun 2016 komunitas Mandailing perantauan mempertanyakan Kementrian ESDM terkait dengan akuisisi 100 % PT SMGP kepada KS Orka (Singapura).
Komunitas Mandailing Perantauan merasa dicurangi karena di duga SMGP hanya menjadi agen asing untuk menguasai lahan di Mandailing Natal.
Lanjutnya, Bupati Mandailing Natal telah pula membekukan izin PT SMGP pada 9 Desember 2014 dengan pertimbangan bahwa perusahaan ini sudah membuat masyarakat menjadi korban dan tahap eksplorasi sudah menjadi tahap merusak lingkungan dan menimbulkan bencana alam. Namun, kembali dikeluarkan izin baru oleh Kementrian ESDM pada April 2015.
Juga diinformasikan Puput, sempat ada penolakan oleh warga karena dalam praktiknya, tidak ada sosialisasi terlebih dahulu kepada warga di sekitar lokasi proyek.
Terhadap musibah yang terjadi ini KAWALI mencurigai dan mempertanyakan proses Amdal, UKL/UPL, atas pembukaan lahan untuk proyek sumur bor PT SMGP.
“Perlu diketahui untuk pejabat yang menerbitkan izin tanpa di lengkapi dengan Amdal atau UKL/UPL dapat di jerat dengan hukuman pidana, karena perbuatan itu adalah sebuah kelalaian atau penyalagunaan jabatan,” tegas Puput.
KAWALI, mendesak pihak-pihak terkait bisa memberikan keterangan yang transparan dan terbuka terkait dengan musibah terjadinya dugaan keracunan Gas H20 akibat pembukaan sumur bor PT SMGP.
Juga mendorong semua stake holder terkait untuk melakulan penyelesaian masalah keselamatan dan kesehatan masyarakat agar dilakukan perbaikan pada kondisi tidak aman dan tindakan kerja tidak aman agar resiko keselamatan masyarakat dan kesehatan kerja dapat diminimalkan.
“Meminta pihak terkait melakukan pembinaan atau pelatihan keterampilan kepada masyarakat sekitar, karyawan sesuai dengan bidang kerjanya,” harap Puput.
Terjadinya kekacauan ini, menurut KAWALI, diduga karena Standar Operasional yang tidak pada semestinya diduga terjadi human error.
Karena di kegiatan pengeboran dan pengujian sumur bor, Standar presedurnya masyarakat harus dievakuasi terlebih dahulu untuk antisipasi dan pencegahan hal-hal yang tidak di inginkan nantinya.
“Kita ketahui kasus kematian akibat Gas H2SO sudah sering terjadi di tempat-tempat pengeboran PLTP, Migas dan Penambangan Batubara tertutup atau penggalian sumur air tanah sekalipun,” ujarnya.
Penggalian sumur bor, seharusnya diikuti oleh Standar Operasional yang baik dan berlaku, serta melengkapi sarana pendeteksi (Fixed Monitoring System) gas H2S/H2SO di lokasi pengalian.
“Atas kelalaian ini, perusahaan bisa dihukum karna lalai menjalankan SOP dan berdampak adanya korban. Begitu juga dengan pejabat yang berwenang bisa mendapatkan sanksi hukum,” tegasnya.
Berdasarkan pasal 112 UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana di maksud dalam pasal 71 dan pasal 72 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dapat di pidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun .
“Menurut kami harusnya ada sistem monitoring H2S yang mestinya berfungsi dan secara otomatis menutup sumur dan menghentikan seluruh kegiatan. Lalu ada sirene yang mestinya berfungsi dan ada prosedur,” sesal Puput.
KAWALI mendukung dan mengapresiasi upaya kementerian ESDM untuk menghentikan sementara seluruh kegiatan perusahaan guna mencegah dampak susulan dan segera membentuk Tim Investigasi untuk mencari penyebab kejadian.
“Hasil investigasi akan mampu menemukan penyebab utama. Mari kita dukung bersama sebagai langkah awal dalam menuntun penyelesaiannya. (Poltak Simanjuntak).
Discussion about this post