Categories: Opini

“Koko” si Barang Antik di Pilkada Kota Pematangsiantar

(Renungan di Kemerdekaan INDONESIA, 17 Agustus 2020)

 

Oleh: Pardomuan Simanjuntak SH MSi

 

DI Pilkada Kota Pematangsiantar, yang akan digelar pada 9 Desember 2020, pasangan Asner Silalahi – Susanti Dewayani akan berhadapan melawan si “Koko” — KOTAK KOSONG.

“Koko” pun menjadi barang antik, yang semakin sexy.

Kenapa? Karena kondisi kekinian perkembangan perpolitikan di Kota Pematangsiantar, dimana calon tunggal, terkesan sudah “merasa” berada di atas angin, dan terkesan “merasa” sudah mulus untuk menduduki kursi kekuasaan Pematangsiantar 1.

Sikap merasa sudah memenangkan Pilkada itulah, yang membuat si “Koko” semakin legit dibicarakan. Si “Koko” seakan menggeliat, dan di ketenangannya menyampaikan pesan politik.

Memborong atau mendapatkan dukungan dari banyak partai politik yang ada di Kota Pematangsiantar, tidaklah ada larangan. Tidak juga melanggar kaidah-kaidah atau peraturan yang ada. Artinya sah!

Yang menjadi masalah, bisakah koalisi partai politik yang mengusung dan mendukung pasangan bakal calon Walikota/Wakil Walikota itu, memastikan bahwa konstituen mereka akan menetapkan pilihan kepada pasangan bakal calon tersebut?

Belum tentu, memang!

Kenapa? Karena dalam konteks memborong partai politik, disadari atau tidak, bakal calon tunggal itu, sudah “memenjarakan” kebebasan pemilik suara untuk menentukan dan menetapkan pilihan sendiri.

SEMENARIK APAKAH si “KOKO”

“Koko” menjadi menarik, karena perilaku si calon tunggal, yang disengaja atau tidak, menjadi sangat berperan besar dalam mempopulerkan keberadaan si “Koko” di Pilkada Kota Pematangsiantar.

Menjadi sangat menarik, dan kelihatan antik, karena “Koko” dalam diamnya, dapat mempengaruhi alur pikiran para pemilik suara.

Bayangkan saja, ibarat sebuah pertandingan sepakbola, yang ditampilkan 4 tahun sekali, tentu sangat dirindukan para pecinta sepakbola. Apakah itu terkait nama kesebelasan atau tokoh pesepakbolaan yang sangat dikagumi.

Pertandingan itu, adalah sesuatu yang sangat ditunggu-tungggu. Ada sesuatu yang sangat dinantikan, yakni pertandingan antar tim melalui tahapan yang sudah ditentukan.

Demikian juga dengan Pilkada Kota Pematangsiantar, yang akan digelar pada 9 Desember 2020, bahwa pertarungan antar beberapa bakal calon Walikota dan Wakil Walikota, seharusnya menjadi sesuatu yang sangat mengasyikkan.

Tetapi, itu tidak terwujud, karena calon tunggal memborong habis partai politik telah melahirkan atau menciptakan lawannya sendiri yakni si “Koko”.

PERHITUNGAN SUARA

Keberadaan atau kehadiran para pemilih yang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), tidaklah dapat diklaim sebagai suara yang menentukan dan menetapkan pilihan kepada calon tunggal.

Sebenarnya menjadi sangat penting untuk mengikuti pertarungan calon tunggal yang berhadapan dengan si “Koko” hingga proses akhir di TPS yakni perhitungan perolehan suara.

Di perhitungan suara itulah, akan kelihatan, bagaimana kekuatan calon tunggal dan bagaimana kekuatan si “Koko” dalam mendulang suara pemilih.

Si “Koko” menjadi antik dan sexy, karena sangat berperan besar untuk menentukan menang atau kalahnya si calon Walikota tunggal itu.

SEJARAH “KOKO” MENANG

Sejarah mencatat, dunia politik Indonesia pernah dibuat heboh soal kemenangan kotak kosong di pemilihan Wali Kota Makassar pada 27 Desember 2018.

Suara kotak kosong menekuk suara koalisi partai politik.

Menurut data, awal munculnya kotak kosong di Makassar setelah Mahkamah Agung (MA) mencoret pasangan Mohammad Ramdhan Danny Pomanto dan Indira Mulyasari (DIAmi) dari bursa Pilwalkot Makassar.

Atas putusan itu, Pilwalkot Makassar akhirnya diikuti pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu).

Namun semua orang tersentak, ketika pundi-pundi suara kotak kosong di Makassar mengalir deras. Berdasarkan hasil rekapan dari KPU Kota Makassar per kecamatan, kotak kosong menang atas pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu).

Dari rekapitulasi ini, pasangan Appi-Cicu total mendapatkan 264.071 suara dan kotak kosong 300.969 suara.

Kemenangan kotak kosong ini membuat riuh politik di Tanah Air.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah — ketika itu — mengistilahkannya sebagai bentuk ‘hukuman’ masyarakat kepada elite.

Dia menyebut demokrasi adalah suara rakyat. Fahri meminta elite peka terhadap kemauan rakyat.

Apakah bentuk hukuman masyarakat Kota Pematangsiantar kepada elite akan terjadi, dan itu karena ketidakpekaan para elite partai politik terhadap kemauan rakyat?

Jawabannya masih menunggu waktu, di 9 Desember 2020.

Redaksi

Recent Posts

Pelaksanaan Pilkada di Lapas Narkotika Kelas IIA Pematangsiantar Lancar *Paslon Boby/Surya Raih 420 Suara, Edy/Hasan Peroleh 124 Suara

Simalungun - Konstruktif.id | Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Calon Gubernur/Wakil Gubernur Sumatera Utara dan…

9 jam ago

Tim Kamtib Lapas Narkotika Kelas IIA Pematangsiantar Cek Saluran Pembuangan Air

Simalungun - Konstruktif.id | Tim Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) Lapas Narkotika Kelas IIA Pematangsiantar melakukan…

1 hari ago

Polsek Siantar Timur Bantu Korban kecelakaan untuk mendapatkan pertolongan pertama

Pematangsiantar - Konstruktif.id | Kanit Binmas Polsek Siantar Timur AIPTU P. Simanjuntak selaku Perwira pengawas…

3 hari ago

Siap Menjamin Keamanan,Polres Pematangsiantar terjunkan 150 Personil Amankan 411 TPS Pilkada 2024

Pematangsiantar - Konstruktif.id | Kapolres Pematangsiantar AKBP Yogen Heroes Baruno SH. SIK pimpin Apel Pergeseran…

3 hari ago

Polres Pematangsiantar Sambut 60 Personil BKO Sat Brimob Polda Sumut

Pematangsiantar - Konstruktif.id | Dukung Pengamanan Pilkada 2024 ,Sebanyak 61 personel Sat Brimob Polda Sumut…

3 hari ago

Siap Jaga Keamanan Pilkada 2024, Samapta Polres Pematangsiantar kuti Latihan Pengendalian Massa di Sat Brimobda Sumut Batalyon B Tebing Tinggi

Pematangsiantar - Konstruktif.id | Siap Jaga Keamanan Pilkada 2024 Personil Polres Pematangsiantar mengikuti Latihan Pengendalian…

3 hari ago