(Sebuah Wawancara Imajiner)
Selamat pagi!
Sebelum melanjutkan perbincangan dengan “Koko”, ijinkan kami flash-back dialog terakhir yang sangat menarik.
Begini kata “Koko”, “Saya tidak merasa bangga sedikit pun. Saya merasa sangat prihatin melihat pasangan calon tunggal, yang harus bertarung dengan saya yang tidak jelas wujudnya, dan yang tidak jelas jenis kelaminnya. Kata kasarnya, saya ini benda mati yang tidak punya rasa atau perasaan, yang tidak punya kekuatan untuk berkampanye atau menggugah hati para calon pemilih.”
“Anda terlalu merendahkan diri. Bukankah Anda memiliki kehebatan yang sangat luar biasa, sebagai calon kepala daerah yang direstui oleh peraturan. Andalah calon yang tidak menjalani verifikasi administrasi, tidak menjalani verifikasi faktual dan tidak mengeluarkan cost politics seperti apa yang harus dijalani calon tunggal,” kata wartawan kami.
“Hahahaha….” “Koko” tertawa lepas.
*******
“Koko” mengaku merasa sangat prihatin dengan tahapan pemilihan bakal calon kepala daerah Kota Pematangsiantar.
Keprihatinan itu, berkaitan dengan tidak munculnya figur-figur yang mumpuni. Kota Pematangsiantar minim tokoh yang terpanggil untuk membangun.
Bahkan petahana sendiri tidak tertarik untuk ikut serta dalam tahapan Pilkada Kota Pematangsiantar yang pelaksanaannya pada 9 Desember 2020.
“Prihatin kita, melihat animo warga Kota Pematangsiantar untuk ikut serta sebagai calon walikota. Kota ini seakan kehilangan tokoh, atau ketiadaan tokoh,” kata”Koko”.
“Bukankah ada Asner Silalahi dan di jalur independen ada Ojak Naibaho,” tanya wartawan kami.
“Seharusnya atau idealnya, tidak hanya Asner Silalahi dan Ojak Naibaho saja yang muncul. Dimana putra-putri Kota Pematangsiantar lainnya. Kenapa tidak tertarik untuk berkompetisi di Pilkada 2020,” kata “Koko”.
“Menurut Anda, apa yang menyebabkan sehingga terjadi situasi seperti yang Anda sampaikan,” tanya wartawan kami.
“Koko” menarik nafas agak panjang. Kemudian tangan kanannya dijulurkan ke arah gelas kopinya. “Koko” menikmati hangatnya kopi robusta.
“Saya juga merasa bingung untuk memberikan pandangan. Kalangan akademisi perlu melakukan kajian terhadap situasi ini. Teringat jalur independen, Ojak Naibaho, ternyata totalitas perjuangannya terhenti dan tidak mampu memenuhi persyaratan. Padahal, Ojak Naibaho itukan sudah pengalaman dalam proses administrasi,” kata “Koko” sembari mengangkat gelas untuk menikmati kopinya.
Kami tidak menanggapi. Kami berikan ruang yang lebih lebar bagi “Koko” untuk menyampaikan uneg-uneg.
“Kemarin masih ada Wesly Silalahi dengan spanduknya berlatar PDI-PERJUANGAN yang terpasang di sejumlah titik di Kota Pematangsiantar. Ada juga Binsar Situmorang, dan ada Rajamin Sirait. Mereka menghilang begitu saja, tanpa melewati tahapan,” kata “Koko”.
“Menurut Anda apa yang membuat mereka tidak memasuki tahapan tersebut,” kata wartawan kami.
“Untuk sementara, saya beranggapan bahwa mereka memang tidak siap,” kata “Koko”.
“Kalau begitu, Asner Silalahi bagaimana,” tanya wartawan kami.
“Saya mau katakan begini, kalau sudah mendapatkan persyaratan 7 kursi dari partai pengusung maupun pendukung, selayaknya cukuplah dan tidak lanjut menerima atau meminang partai lainnya. Kalau pun ada partai lain mau bergabung, ditolak saja. Biarkan saja partai-partai itu mencari sendiri figur yang mau mereka usung atau dukung. Atau biarkan saja ketua atau kader mereka yang tampil. Atau biarkan saja partai-partai itu, tidak punya calon yang diusung atau didukung. Biarkan saja partai-partai yang tak punya calon itu, tidak ikut menjadi peserta Pilkada. Agar tidak muncul imej, bahwa satu calon menguasai banyak partai,” kata “Koko”.
“Apakah menguasai banyak partai, sangat identik dengan apa yang disebut monopoli,” kata wartawan kami.
“Nah, itu dia kata yang perlu dijaga agar tidak kekuar. Jika kesan itu yang terjadi, maka lahir pula pemikiran-pemikiran yang berbeda di tengah masyarakat. Ada yang memuji dengan mengatakan bahwa calon itu hebat, karena mampu merangkul banyak partai. Ada yang mengatakan bahwa calon itu merasa ketakutan berhadapan dengan lawannya, sehingga borong banyak partai. Macam-macam itu. Kemudian, dengan memborong banyak partai, lawan yang muncul adalah saya, “KOKO” — KOTAK KOSONG atau KOLOM KOSONG,” kata “Koko”.
Apakah yang akan terjadi kelak?Belum ada kepastian untuk menjawabnya. Karena, calon tunggal pun, masih menjalani beberapa tahapan sebelum ditetapkan sebagai peserta pemilu serentak. Apakah verifikasi faktual, akan berjalan mulus?
(Ijin warga Kota Pematangsiantar✓Episode pertemuan imajiner bersama si “Koko” kita lanjutkan besok ya…Episode ini akan berkelanjutan hingga 9 Desember 2020
Salam, Ingot Simangunsong)
Discussion about this post