KOKO – KOLOM KOSONG atau KOTAK KOSONG, sedikit mengerutkan kening, saat menerima kehadiran kami. Namun, senyum kecil yang menghiasi bibirnya, menunjukkan betapa KOKO sangat merindukan kehadiran kami di rumah minimalisnya
Sama seperti kami – sudah cukup lama – tidak membangun komunikasi dengan KOKO.
Ya. Seperti lazimnya sejak awal ketemu, kali ini KOKO pun masih mengenakan celana dan kemeja putih. Sesuai dengan posisi KOKO berada di sebelah kiri CALON TUNGGAL, tanpa foto dan polos putih. Begitulah posisi KOKO sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU (PKPU).
Saat berjabatan tangan satu per satu dengan kami, KOKO menyapa dengan lembut, “Saudaraku baik dan sehat. Bagaimana kabar keluarga. Bagaimana juga kabar para calon pemilih yang memiliki hak penuh untuk menentukan menang kalahnya calon kepala daerah.”
Tentu, kami menjawab, bahwa semuanya dalam keadaan baik.
Agak sedikit senyap suasana pertemuan ini. KOKO sedikit menunduk, saat kami duduk mengelilingi meja minimalis yang di atasnya sudah terhidang empat cangkir kecil kopi dan kue klepon.
“Saya merasa prihatin dengan kondisi kekinian yang terjadi pada sebuah organisasi sosial kemasyarakat, terkait dukungan. Seyogianya hal itu tidak terjadi dalam pesta demokrasi yang seharusnya menggembirakan rakyat,” kata KOKO membuka percakapan.
Ternyata gonjang-ganjing yang menimbulkan hiruk-pikuk di media sosial maupun di pemberitaan media cetak mau pun online itu, sudah sampai juga ruang kehidupan KOKO.
“Banyak pihak yang menyesal kenapa hal itu terjadi. Seharusnya tidak demikian. Seharusnya hal-hal kedamaianlah yang dipertontonkan kepada masyarakat banyak,” kata si Arga.
KOKO mengangguk-angguk. Kemudian tersenyum lebar. Sepertinya, KOKO sudah menemukan sesuatu yang pas untuk disampaikannya kepada kami.
“Kenapa KOKO tersenyum lebar,” tanya Argo.
“Saya merasa lucu saja. Bagaimana bisa seorang calon pemimpin, demikian cerobohnya dalam menanggapi sebuah dukungan tanpa melakukan berbagai pertimbangan atau melihat lebih jauh atas benar tidaknya sebuah dukungan diterima,” kata KOKO.
KOKO menggambarkan, bahwa seorang calon pemimpin itu, apalagi sudah dinyatakan sebagai CALON TUNGGAL, sepatutnya bertindak lebih bijak, lebih matang, dan lebih jeli dalam menghindari ketidak-harmonisan terjadi dalam lingkaran ketercalonannya.
“Ya, itu yang kita sesalkan. Sebagai calon tunggal, walau pun dikatakannya, dirinya hadir karena undangan dari sebuah komunitas marga, seharusnya sebelum acara diselenggarakan, ditanyakan dulu apakah komunitas marga itu memiliki wadah atau tidak. Jika marga itu memiliki wadah, ya sepatutnyalah si calon tunggal tidak memenuhi undangan tersebut,” kata Argi.
Tetapi, kenyataannya bahwa si calon tunggal tidak mau peduli terkait keetikaan ada tidaknya wadah marga tersebut. Bagi si calon tunggal, mendapatkan doa dan dukungan dari marga menjadi sangat penting, karena ada angka 11.000 yang disampaikan kepada si calon tunggal.
Jadi, kehadiran si calon tunggal, bukan dalam konteks mau membangun keharmonisasian dengan wadah marga tersebut. Kehadirannya, semata-mata ingin mengklaim bahwa 11.000 yang disebut-sebut menjadi miliknya.
“Keserakahan dan kesombongan si calon tunggal itu, sudah dipertontonkannya dengan terbuka sekali, tanpa peduli bagaimana gejolak perasaan anggota yang bernaung di wadah marga itu, merasa terluka, dan tanpa memikirkan bagaimana perasaan ketua wadah tersebut,” kata Arga.
Tindakan semena-mena dengan mengabaikan otoritas ketua wadah marga tersebut, sudah “dikebiri” si calon tunggal. Yang lebih parahnya lagi, si calon tunggal itu sudah berkali-kali ketemu dengan ketua wadah marga tersebut.
Ketika si calon tunggal melihat sebelah mata otoritas ketua wadah tersebut, tanpa disadari atau memang disadari, sudah terjadi sikap tidak peduli terhadap bagaimana seorang calon pemimpin menunjukkan sikap menjaga dan melestarikan keharmonisan hubungan dirinya dengan seluruh elemen masyarakat yang ada.
Ya, kita merasa “Prihatin ketika calon tunggal menciptakan ketidakharmonisan” di tengah komunitas sebuah marga. Buah dari keambisiusan untuk mendapatkan partai sebanyak-banyaknya, ternyata dipertunjukkannya juga keambisiusan untuk mendapatkan suara sebanyak-banyak dari wadah marga.
Aneh juga, bukankah dengan memborong partai atau mendapatkan dukungan banyak partai, itu sebenarnya sudah lebih dari cukup? Bukankah dengan suara yang didapat partai pengusung dan pendukungnya, itu juga suara yang diberikan rakyat dan wadah marga?
Kenapa ya, calon tunggal yang sudah dinyatakan sebagai satu-satunya calon, masih kurang percaya diri untuk memenangkan pertarungan dengan KOLOM KOSONG atau KOKO?
“Apakah ini yang dikatakan keserakahan atau keraguan atau tidak percaya diri,” tanya Argi.
Idealnya, seorang calon pemimpin itu, sudah mempertunjukkan kemampuannya dalam menjaga keharmonisan di tengah kehidupan sosial kemasyarakatan yang akan dipimpinnya. Camkan itu para calon tunggal di 25 kabupaten/kota di negeri ini.
(Ijin warga Kota Pematangsiantar dan warga di 24 daerah lainnya✓Episode diskusi bersama si “Para Koko” kita lanjutkan besok ya…Episode ini akan tetap berkelanjutan hingga 5 Desember 2020.
Salam)
Simalungun - Konstruktif.id | Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Calon Gubernur/Wakil Gubernur Sumatera Utara dan…
Simalungun - Konstruktif.id | Tim Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) Lapas Narkotika Kelas IIA Pematangsiantar melakukan…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Kanit Binmas Polsek Siantar Timur AIPTU P. Simanjuntak selaku Perwira pengawas…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Kapolres Pematangsiantar AKBP Yogen Heroes Baruno SH. SIK pimpin Apel Pergeseran…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Dukung Pengamanan Pilkada 2024 ,Sebanyak 61 personel Sat Brimob Polda Sumut…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Siap Jaga Keamanan Pilkada 2024 Personil Polres Pematangsiantar mengikuti Latihan Pengendalian…