Categories: Opini

“KOKO” si Barang Antik yang Sexy di Pilkada Serentak (9)

(Sebuah Diskusi Imajiner)

“Calon Tunggal Ambisius Kekuasaan, Preseden Buruk bagi Demokrasi”

 

25 KOKO – KOTAK KOSONG atau KOLOM KOSONG, sudah berada di ruang terbuka di halaman depan rumah KOKO Pematangsiantar.

Posisi tempat duduk setengah lingkaran, adalah tempat 24 KOKO yang datang dari berbagai daerah, dan di depan ujung tengah di setengah lingkaran itu, terdapat meja panjang dengan 4 kursi.

Keempat kursi itu, tiga buat tim kami dan satu lagi untuk KOKO Pematangsiantar sebagai fasilitator terlaksananya diskusi.

Sesuai dengan kesepakatan, bahwa konsep wawancara yang selama ini dilakukan terhadap KOKO Pematangsiantar, dirubah menjadi konsep diskusi bersama 25 KOKO.

Karena ini, adalah gawean kami, maka wartawan kami yang menyampaikan kata pembukaan, sebagai jalan masuk ke diskusi yang lebih menohok.

“Para KOKO sekalian,  bahwa keberperanan KOKO dalam keikutertaan sebagai calon kepala daerah, dari tahun ke tahun semakin meningkat jumlahnya. Tahun 2015, ada tiga KOKO. Tahun 2017, ada sembilan KOKO. Tahun 2018, ada enambelas KOKO, dan tahun 2020, ada duapuluh lima KOKO.

Sesungguhnya, angka-angka tersebut, sangatlah memprihatinkan, karena ada dua hal yang tertangkap dari kondisi itu. Pertama, munculnya figur-figur calon pemimpin yang terlalu berpikir individualis, ambisius berlebihan untuk merebut kekuasaan, dan ketidakpedulian pada kedaulatan rakyat dalam menentukan serta menetapkan pilihannya.

Kedua, hadirnya KOKO menjadi alat penegas, bahwa partai politik gagal memberikan pemahaman politik demokrasi kepada para kadernya (mulai dari Ketua Umum hingga Ketua DPD/DPC), dan partai politik menjadi ‘biang kerok’ lahirnya figur-figur calon pemimpin  yang menjadi serakah memborong partai karena ketidaksanggupan partai untuk mempersiapkan kadernya untuk menjadi calon pemimpin.

Salah satu penyebab lahirnya KOKO, karena mesin partai yang berfungsi untuk memberikan pendidikan politik bagi kader tidak berfungsi dengan baik. Karena partai selain wajib memberikan pendidikan politik kepada masyarakat juga wajib untuk memberikan pendidikan politik kepada kader-kadernya, termasuk dalam hal ini adalah dengan menyiapkan kader terbaik untuk menjadi pemimpin di daerah masing-masing serta menyiapakan kader terbaiknya untuk menjadi pemimpin di kancah nasional.

Demikian yang dapat kami sampaikan sebagai pengantar diskusi kecil yang sedang kita selenggarakan ini, dalam rangkaian terselenggaranya Pilkada Serentak 2020, yang kita nilai sangat fenomenal karena peningkatan jumlah kehadiran KOKO sebagai salah satu pilihan yang mendapat restu berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).”

Setelah komunikasi pengantar selesai, diskusi kami arahkan pada sesi menampilkan slide pernyataan sejumlah pengamat atau pemerhati pesta demokrasi, di antaranya;

Ketua bidang Penegakkan Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas menyebut, bahwa demokrasi di Indonesia kian “sakit”. Sebab, pada Pilkada 2020 muncul 25 bakal calon kepala daerah tunggal di kabupaten/kota.

“Demokrasi kita bukan saja sedang sakit, tetapi makin sakit, makin terpental, makin mengalami krisis jiwa,” kata Busyro dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (9/9/2020).

Busyro juga menyoroti menguatnya dominasi oligarki politik dan bisnis. Kontestasi Pilkada, kata Busyro, semestinya menjadi hak dari kader-kader unggulan yang memiliki basis kecerdasan, rekam jejak kejujuran, merakyat, dan kematangan demokrasi.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadhil Ramadhani menilai, maraknya calon tunggal dalam Pilkada 9 Desember 2020 mendatang menjadi preseden buruk bagi demokrasi.

Menurutnya, fenomena calon tunggal menjadi tanda bahaya esensi mendasar kehidupan demokrasi dalam kontestasi yang sehat dan fair untuk mendapatkan figur-figur yang mumpuni, berintegritas, dan memiliki kapabilitas yang baik sebagai pemimpin daerah.

Hal ini diperkuat Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto yang menilai keberadaan calon tunggal pada Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020 menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia.

“Adanya calon tunggal adalah preseden buruk bagi demokrasi karena pilihan publik terbatas. Kalau calonnya hanya satu pasang maka publik terbatas pilihannya,” ujar Wijayanto dalam diskusi yang digelar secara daring, Rabu, 16 September 2020.

Setelah melihat slide pernyataan tersebut, diskusi kecil ini kami skors.

 

(Ijin warga Kota Pematangsiantar dan warga di 24 daerah lainnyaEpisode diskusi bersama si “Para Koko” kita lanjutkan besok ya…Episode ini akan tetap berkelanjutan hingga 5 Desember 2020.

Salam, Ingot Simangunsong)

Redaksi

Recent Posts

Pelaksanaan Pilkada di Lapas Narkotika Kelas IIA Pematangsiantar Lancar *Paslon Boby/Surya Raih 420 Suara, Edy/Hasan Peroleh 124 Suara

Simalungun - Konstruktif.id | Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Calon Gubernur/Wakil Gubernur Sumatera Utara dan…

7 jam ago

Tim Kamtib Lapas Narkotika Kelas IIA Pematangsiantar Cek Saluran Pembuangan Air

Simalungun - Konstruktif.id | Tim Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) Lapas Narkotika Kelas IIA Pematangsiantar melakukan…

1 hari ago

Polsek Siantar Timur Bantu Korban kecelakaan untuk mendapatkan pertolongan pertama

Pematangsiantar - Konstruktif.id | Kanit Binmas Polsek Siantar Timur AIPTU P. Simanjuntak selaku Perwira pengawas…

3 hari ago

Siap Menjamin Keamanan,Polres Pematangsiantar terjunkan 150 Personil Amankan 411 TPS Pilkada 2024

Pematangsiantar - Konstruktif.id | Kapolres Pematangsiantar AKBP Yogen Heroes Baruno SH. SIK pimpin Apel Pergeseran…

3 hari ago

Polres Pematangsiantar Sambut 60 Personil BKO Sat Brimob Polda Sumut

Pematangsiantar - Konstruktif.id | Dukung Pengamanan Pilkada 2024 ,Sebanyak 61 personel Sat Brimob Polda Sumut…

3 hari ago

Siap Jaga Keamanan Pilkada 2024, Samapta Polres Pematangsiantar kuti Latihan Pengendalian Massa di Sat Brimobda Sumut Batalyon B Tebing Tinggi

Pematangsiantar - Konstruktif.id | Siap Jaga Keamanan Pilkada 2024 Personil Polres Pematangsiantar mengikuti Latihan Pengendalian…

3 hari ago