Memaknai SEMUT-nya Joko Widodo
Oleh : Ingot Simangunsong
“Saya hanyalah semut yang harus melawan gajah-gajah yang punya segalanya.”
Kalimat di atas disampaikan Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo, sebagai ungkapan kerendahan hati, yang sekaligus mengingatkan siapapun, bahwa filosofi semut, adalah sesuatu yang dahsyat sekaligus menakutkan.
Tentu saja, menakutkan bagi gajah-gajah yang senantiasa berusaha dan berupaya dengan cara dan jalan apapun untuk menakut-nakuti.
Sudah tahulah kita, bagaimana gajah-gajah yang merasa besar kepala karena bertubuh besar dengan kulit tebal, belalai panjang dan suara yang melengking. Setiap bergerak menimbulkan getaran, apalagi saat mengamuk sembari berlari.
Gajah-gajah itu, juga dapat menjelmah menjadi buas dan merusak atau merubuhkan apa saja yang ada di sekelilingnya.
Ya, gajah-gajah itu, juga butuh dihormati, butuh didengar suara berisiknya, dan butuh tempat yang nyaman. Bahasa kerennya, gajah-gajah itu butuh fasilitas yang wahhhh.
Bisa jadi, itulah gajah-gajah yang dimaksud Joko Widodo, yang punya segalanya. Atau yang sangat membutuhkan segalanya!
Apakah kerendahan hati yang disampaikan Joko Widodo itu, merupakan pengakuan terhadap kelemahan dirinya? Tidakkk!!!
Bagi gajah-gajah yang dimaksud Joko Widodo, itu bukanlah kelemahan diri atau kerendahan hati Tetapi, merupakan ancaman, merupakan bentuk tekanan sekaligus dapat mematikan langkah gajah-gajah.
Gajah-gajah itu, sadar betul, Joko Widodo sangat piawai dalam memilih binatang Semut sebagai alat menekan lawan politik atau mengekang politik yang diarahkan sebagai bentuk perlawanan.
Filosofi semut, yang masuk ke dalam telinga gajah-gajah itu, sungguh sangat menyakitkan sekaligus tidak mengenakkan.
Lihat saja bagaimana gajah gaek JeKa terkapar, disergap SEMUT-nya Joko Widodo. Lihat saja bagaimana gajah berjambang itu, merunduk diam. Lihat saja gajah tua yang mengaku bapak reformasi itu, menjadi tidak ada apa-apanya dengan bunyi-bunyian kosongnya. Lihat saja, bagaimana gajah ARB, mengalami patah belalai.
Namun, yakinlah, SEMUT-nya Joko Widodo, melakukan semua itu dengan cara yang paling santun, beradab dan bermoralitas. Ibarat menarik rambut dari dalam tepung. Rambut tertarik, tepung tidak berserakan.
Gajah-gajah yang menyerah digerayangi semut, kembali ke kandang tanpa dibebani rasa malu.
Kalau pun ada gajah-gajah anakan yang berusaha mempertontonkan kehebatannya, ya itu biarlah menjadi urusan anak-anaknya semut saja.
Pak Presiden, tetaplah menjadi semut untuk mematikan langkah gajah-gajah nakal di negeri ini, INDONESIA.
Discussion about this post