Pematang Siantar, Konstruktif.id
Arist Merdeka Sirait :
“Revisi Segera UU RI Nomor : 11 Tahun 2012 tentang SPPA”,
Untuk menjawab meningkatnya kasus pelanggaran hak anak di wilayah hukum Sumatera Utara, sudah sepatutnya dan segera dibangun Gerakan Nasional Memutus Mata Rantai Pelanggaran Hak Anak Berbasis Komunitas di berbagai daerah mulai dari tingkat Desa, Kampung, Kelurahan, Kecamatan sampai pada tingkat Kota, Kabupaten dan Provinsi di Sumatera Utara dan sehera Revisi UU RI tentang Sistim Peradilan Pidana Anak (SPPA). Demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak kepada sejumlah pekerja media melalui keterangan persnya di Pematang Siantar Rabu (12/04).
Dari hasil Kunjungan Kerja yang dilakukan KOMNAS Perlindungan Anak bersama Tim Litigasi dan Advokasi untuk Rehabilitasi Sosial Anak 11-14/04 di Sumatera Utara ditemukan banyak fakta dan data anak menjadi pelaku dan korban kekerasan pada anak adalah anak itu sendiri.
Data yang berhasil dikumpulkan Tim Litigasi dan Advokasi untuk Rehabilitasi Sosial Anak dari berbagai sumber di Sumatera Utara dari kunker itu, 52 persen kasus kekerasan seksual, dan ada ditemukan data 42 persen pelakunya adalah selain orang terdekat Anak, juga adalah anak itu sendiri. 12 persen dalam bentuk kenakalan dan 22.50 persen dalam kejahatan seksual. Lebih lanjut Arist Merdeka mengatakan, fakta menunjukkan kasus-kasus yang dilakukan anak sudah masuk kategori kejahatan luar biasa dan berat.
“Lihat saja kasus kejahatan seksual disertai pembunuhan dan jasadnya dibuang di belakang rumah di tepi sawah sampai membusuk di desa Paya Gambar Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deliserdang yang dilakukan anak dibawa usia”.
” Inikah yang disebut kenakalan anak.
Demikian juga kasus yang sangat tidak bisa diterima akal sehat dimana ada peristiwa pembacokan terhadap anak usia 14 tahun siswa SMP di Sukabumi yang dilakukan 3 orang anak remaja seorang anak usia 14 tahun dengan cara membacok dengan clurit dan pada saat kejadian disiarkan secara langsung melalui media sosial..
Sekali lagi, “Inikah kenakalan anak atau justru kejahatan berat dan sadis”.
“Kasus yang sulit diterima semua orang, dimana ada kasus mutilasi yang dilakukan 2 orang satu diantaranya melibatkan anak di Sulawesi Selatan melakukan mutilasi dan mengambil sebagian organ tubuhnya dengan maksud dijual melalui layanan media sosial. Ada juga kasus kekerasan fisik dengan cara menendang dengan kaki hingga terjungkal, kemudian tertawa-tawa terhadap seorang ibu usia lansia yang mempunyai latar belakang mental yang dilakukan lebih dari 5 orang siswa SMP di salah sati tempat di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, sekali lagi apakah ini merupakan tidak kenakalan anak, “jelas Arist.
Peristiwa lain, tekah terjadi serangan kekerasan seksual bergerombol (geng RAPE) yang dilakukan 10 orang, 7 diantaranya usia anak melakukan serangan seksual berulang di salah satu kota Kecamatan di Siborongborong, Tapanuli Utara terhadap seorang anak usia 16 tahun hingga korban trauma berat yang hanya dikenai hukuman sanksi sosial dan oleh korban dan keluarga korban adalah tidak adil.
Ada banyak peristiwa kekerasan dalam bentuk lain juga terjadi di wilayah ini. Ada kasus di Sumatera Utara yang dihimpun dari berbagai kantor pemerintah dan dari Unit PPA yang tersedia diberbagai Polres di Sumatera Utara semisal di Polres Deliserdang, Polres Siantar Polres Tapsel dan Polres Simalungun, anak sebagai pelaku dan korban jumlahnya cukup tinggi dan hampir 52 persen lebih adalah di dominasi kasus kekerasan seksual 42.54 persen adalah usia anak dan selebihnya tindak pidana narkoba, pornografi dan curanmor. Hanya sedikit persentasi melakukan tindak pidana ringan atau kenakalan anak remaja yang dapat diselesaikan dengan pendekatan diversi atau keadilan restorasi.
Dengan data yang ada, Komnas Perlindungan Anak mendesak ada dua langkah strategis yang harus dilakukan pemerintah di Sumatera Utara yakni membangun gerakan nasional memutus mata rantai pelanggaran hak anak melalui aksi membangun gerakan perlindungan berbasis komunitas di Sumatera Utara dengan melibatkan anak sebagai pelapor di masing-masing komunitasnya serta melibatkan lembaga- lembaga kemasyarakatan yang tersedia disetiap desa, kampung dan kelurahan, demikian juga melibatkan program desa maupun Forum Komunikasi masyarakat Daerah.
“Langkah strategis kedua, dari data kejahatan terhadap anak baik anak sebagai pelaku dan korban yang tidak bisa lagi diterima oleh akal sehat dan perilaku kejahatan yang dilakukan usia anak, sudah saatnya momentum kasus AAG (15) yang di vonis 3 tahun enam bulan oleh PN Jakarta Selatan dan dinyatakan bersalah telah ikut serta dan membiarkan terjadinya kekerasan fisik serius dan berat, berdasarkan perkembangam perilaku tindak pidana anak dan perilaku kejahatan terhadap anak Komnas Perlindungan Anak mendesak segera Kementerian PPPA melalui Dirjen Perundang-undangan Kemenhukum dan Komisi 3 DPR RI untuk segera melakukan revisi terhadap RUU RI Nomor : 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), “desak Arist secara serius.
Tambahnya lagi, demi kepentingan terbaik anak masa depan dan keadilan bagi anak dan korban, dalam waktu Komnas Perlindungan Anak segeta audensi dengan Komisi 3 DPR RI Kemen PPPA dan Kemenhukam. (*/Singli Siregar)
Discussion about this post