(Khotbah Minggu III Setelah Trinitatis, 28 Juni 2020)
Oleh: Pdt Dr. Robinson Butarbutar, Ketua Rapat Pendeta HKBP
Saudara terkasih di mana pun berada…
Tidak semua orang mau menikah. Ada orang yang meyakini bahwa tidak menikah adalah panggilan Tuhan baginya (1 Kor. 7:32-35).
Itu adalah pilihan yang harus dihormati, sebab itu pun kudus di mata Tuhan. Namun, di mata Tuhan, rumah tangga pun adalah sesuatu yang kudus.
Kalau rumah tangga itu baik adanya, maka berbahagialah mereka yang tinggal di dalamnya. Rumah tangga itu menjadi surga, dipenuhi kedamaian, kegembiraan, keadilan, dan kebenaran.
Namun, bila rumah tangga itu tidak baik, maka ia akan menjadi ‘neraka’ bagi pengisinya. Dari rumah tangga lahir kebaikan-kebaikan, tetapi dari rumah tangga juga bisa lahir kejahatan-kejahatan.
Oleh sebab itu, di dalam Alkitab kita, tidak hanya dasar rumah tangga yang diajarkan di sana. Alkitab juga mengajarkan bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga yang berbahagia dan diberkati.
Belakangan ini, ajaran atau nasehat menjalani kehidupan rumah tangga atau keluarga yang baik semakin kita butuhkan.
Kehidupan kita sekarang berbeda dengan masa dulu. Misalnya tentang kesetaraan (emansipasi) antara laki-laki dan perempuan, jika tidak disikapi dengan baik mungkin saja akan menjadi masalah dalam keluarga.
Era digital ini juga mengubah komunikasi dan relasi antara anak-anak dan orangtua. Anak-anak lebih asyik sendiri. Jika perubahan-perubahan ini tidak diolah dengan baik tentu bisa menjadi persoalan dalam keluarga.
Oleh sebab itu, lewat Kolose 3:18-21, kita hendak mendengarkan kembali dua nasehat untuk membangun keluarga yang berbahagia, yaitu (1) melakukan yang baik, dan (2) menjauhi yang tidak baik.
Pertama, nasehat kepada perempuan (Yunani: gunaika), supaya tunduk (Yunani: hupotasso) kepada suami sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Sementara kepada laki-laki (Yunani: hoi andres) diserukan untuk mengasihi (Yunani: agavao) istri.
Kasih di sini adalah kasih yang membebaskan dan bahkan siap untuk kehilangan nyawa bagi orang yang dikasihinya sebagaimana yang dilakukan Kristus. Kepada anak-anak dikatakan untuk menaati (Yunani: hupakuo) orangtua mereka.
Pertanyaannya, manakah yang lebih sulit untuk dilakukan? Bukankah sama sulitnya?
Sulit bagi perempuan untuk tunduk kepada suaminya, dan sulit juga bagi suami untuk mengasihi istrinya. Begitu juga anak-anak sulit untuk menaati orangtua mereka.
Namun, berbahagia dan diberkatilah keluarga yang melakukannya. Hari ini menjadi saat yang tepat bagi kita untuk introspeksi diri, apakah keluarga kita sudah berada di jalur yang tepat sesuai dengan firman Tuhan?
Kedua, nasehat ‘larangan,’ dengan menggunakan kata ‘jangan’ (Yunani: me).
Nasehat ‘larangan’ ini disampaikan kepada laki-laki dan atau orangtua laki-laki (Yunani: pater).
Laki-laki ‘jangan’ berlaku kasar (Yunani: pikrainomai, membuat menderita, Inggris: to make bitter) terhadap perempuan! Laki-laki ‘jangan’ menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, entah itu verbal atau nonverbal.
Bagaimana bisa laki-laki mengatakan bahwa dia mengasihi istrinya sementara dia melakukan tindakan kekerasan kepada istrinya tersebut?
Kemudian kepada orangtua laki-laki dikatakan, ‘janganlah’ sakiti hati (Yunani: erethizeste, Inggris: provoke) anakmu. Provokasi dari orangtua bisa saja membuat anak-anak melawan, sedih, depresi, dan sebagainya, dan berujung pada kekerasan domestik.
Marilah kita renungkan, bagaimana kita memperlakukan istri kita masing-masing selama ini? Bagaimana kita memperlakukan anak-anak kita?
Pernahkah kita berlaku kasar dan melukai hati mereka?
Kalau pernah, bertobatlah, jangan lakukan lagi. Kalau tidak pernah, teruslah menjadi suami dan orangtua yang mengasihi keluarga dan menjauhi kekerasan. Selamat berbahagia. Amin!
Discussion about this post