Jakarta | Konstruktif.id — Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menetapkan tanaman ganja sebagai salah satu tanaman obat komoditas binaan Kementerian Pertanian. Padahal selama ini, ganja di Indonesia masuk jenis narkotika golongan I menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Ganja dikelompokkan bersama dengan sabu, kokain, opium, heroin dalam narkotika golongan I. Sehingga, izin penggunaannya hanya dibolehkan untuk hal-hal tertentu.
Kendati demikian, beberapa negara telah melegalkan ganja bahkan menjadikannya komoditas ekspor yang menghasilkan miliaran dolar AS.
Pelegalan ganja di dunia pertama kali dilakukan oleh Uruguay sejak 10 Desember 2013. Di negara Amerika Selatan itu, ganja diperjualbelikan dengan syarat pembeli merupakan warga negara asli minimal berusia 18 tahun dan sudah mendapat izin dari pihak berwenang.
Di Uruguay, ganja juga dijual di apotek sejak 2017. Masing-masing penikmat tanaman mariyuana itu hanya dapat membeli sekitar 40 gram per bulan. Namun, masyarakat boleh membudidayakan ganja sendiri asalkan tidak lebih dari enam pohon ganja.
Negara lain yang telah melegalkan ganja adalah Kanada. Sejak 17 Oktober 2018, Kanada mengizinkan masyarakat berusia 18 tahun ke atas untuk membeli ganja di daerah Quebec. Masing-masing pembeli hanya boleh mendapatkan sekitar 30 gram di toko-toko.
Di tahun yang sama, Inggris juga melegalkan bisnis ganja. Rata-rata produksi ganja di Inggris mencapai 95 ton per tahun. Berdasarkan laporan Prohibition Partners yang dikutip dari Health Europa, pasar ganja untuk kepentingan kesehatan di Inggris akan mencapai 2,31 poundsterling pada 2024.
Beberapa negara bagian Amerika Serikat, seperti Alaska, California, Colorado, Maine, Massachusetts, Nevada, Oregon, Washington state, Washington DC, dan Vermont juga melegalkan penjualan ganja.
Dalam laporan Lembaga riset Grandview, pasar ganja AS mencapai US$11,3 miliar pada 2018. Nilai itu diprediksi akan terus meningkat.
Berdasarkan laporan lembaga riset ganja di AS New Frontier Data, yang dikutip dari Forbes, pasar ganja AS akan menyentuh US$30 miliar atau sekitar Rp420 triliun pada 2025 dengan laju pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) mencapai 14 persen.
Sejumlah negara di Eropa seperti Jerman dan Italia juga melegalkan penjualan ganja hanya untuk keperluan medis. Sementara itu, pemerintah Chile mengizinkan masyarakat mengonsumsi ganja dengan catatan dilakukan di dalam rumah dan sendirian.
Belgia, Peru, Meksiko, Ekuador, dan Siprus juga menjual ganja secara legal dengan menekankan batasan maksimal pembelian seperti tiga, delapan, 10, 15 gram per orang. (cnnindonesia/K1)
Discussion about this post