Inilah refleksi awal tahun saya: Mengapa perayaan Tahun Baru terkesan lebih meriah dibanding perayaan Natal?
Apakah ini semata-mata berhubungan dengan jadual hari libur—libur Natal cuma sehari, sedangkan libur akhir tahun beberapa hari? Atau ada hal lain?
Saya mengamati sejak kecil hingga kini, orang-orang Kristen di Tapanuli dan sekitarnya memang kurang “menikmati” Natal dibanding Tahun Baru.
Natal memang dirayakan gegap-gempita di gereja, bersama komunitas. Tapi tahun baru selalu terasa lebih meriah karena dirayakan bersama keluarga—seperti keluarga kami di foto ini.
Boleh dikatakan, Natal cenderung dirayakan berbasis komunitas: teman se-gereja, se-kampus, se-kerja, dll. Sedangkan Tahun Baru dirayakan bersama “keluarga” dan berbasis “kultural”.
Kita akan menerima pertanyaan dari orang tua atau kerabat, apakah pulang kampung ber-Tahun Baru: “Mulak do hamu taon baru on?” Pada momen Tahun Baru pulalah kita mengunjungi kerabat: mengunjungi tulang, bapatua, hula-hula, namboru, sahabat. Tapi kita tak melakukannya pada Natal, bukan?
Dua momen ini, Natal dan Tahun Baru, memang dua perayaan yang berbeda. Yang pertama jelas agenda ke-gereja-an. Yang kedua, momen universal karena penanggalan/tahun masehi dipakai hampir semua negara di dunia—tapi juga dirayakan dengan ibadah syukur di gereja.
Tidak sekedar karena waktunya berhimpitan—Natal ke Tahun Baru hanya seminggu, tapi perayaannya memang cenderung kita jadikan “sepaket”. Makanya kita sering mengucapkan: “Selamat Natal dan Tahun Baru”. Ini tertera, misalnya, di kartu-natal zaman dulu, spanduk, atau baliho. Zaman sekarang disingkat sebagai: “Nataru”.
Penghargaan gereja, utamanya HKBP, kepada Tahun Baru juga lebih istimewa dibanding Natal atau Paskah.
Itu sebabnya, khotbah di Tahun Baru adalah khotbah (pidato) pimpinan tertingginya, Ephorus, yang dibacakan setiap ibadah 1 Januari di semua gereja HKBP di dunia ini. Tapi tidak demikian dengan Natal atau Paskah—sebagai peristiwa mahadahsyat dalam iman Kristen.
Bukti lainnya adalah: jalanan di Tapanuli lebih macet (baca: benar-benar macet total) pada saat Tahun Baru, tapi tidak pada saat Natal. Ini terjadi hampir tiap tahun.
Saya jadi teringat dengan dua buku klasik: “Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak” (Schreiner) dan “Darah Batak dan Jiwa Protestan” (Pedersen).
Kedua buku ini tak secara khusus membahas masalah yang saya ajukan ini, tapi tampaknya dapat membantu kita memahaminya.
Apakah ini cerminan dari kompetisi dan negosiasi dari nilai-nilai Kekristenan dan Kebatakan dalam diri kita? Silahkan baca sendiri…
Editor : Poltak Simanjuntak
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Polres Pematangsiantar melalui Kapolsek Siantar Utara AKP Nelson Aritonang SH pimpin…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Polres Pematangsiantar berhasil mengungkap kasus perjudian online dalam mendukung Program Asta…
Simalungun - Konstruktif.id | Lapas Narkotika Kelas IIA Pematangsiantar melaksanakan patroli keliling memeriksa seluruh bangunan…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Kasat Lantas Polres Pematangsiantar, AKP Gabriellah A. Gultom SIK. MH pimpin…
Pematangsiantar - Konstruktif.id | Polsek Siantar Martoba melalui Bhabinkamtibmas Kelurahan Bah Sorma AIPTU Napena Karo…