Jakarta | Konstruktif. Id
Sejumlah lembaga di Bali menyoroti RUU KUHP yang saat ini sudah dalam proses finalisasi untuk pengesahan oleh DPR dan pemerintah.
Sebelumnya, Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sekarang diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië. Lalu sejak 2015, Pemerintah mengajukan RUU KUHP ke DPR.
Diketahui, salah satu aspek penting dalam sektor pariwisata adalah perlindungan atas privasi. Privasi sangat diperhatikan, misalnya dalam industri perhotelan. Bali sebagai provinsi yang sangat mengandalkan sektor pariwisata sangat menjunjung tinggi nilai privasi, yang perlindungannya tidak hanya pada warga negera Indonesia, namun juga pada warga negara asing, sebagai wisatawan di Bali.
“Pasal-pasal dalam RKUHP yang menyasar ruang privasi, jelas akan juga diaplikasikan bagi warga negera asing sebagai wisatawan, hal ini akan berdampak pada sektor pariwisata di Bali dan mempengaruhi kondisi ekonomi Bali,” kata Direktur Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) I Made Adi Mantara dalam siaran persnya, Kamis, 9 Desember 2021.
Adapun pasal-pasal penyerangan privasi tersebut kata I Made Adi, adalah Pasal 417 RKUHP:
“Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjaa paling lama 1 (tahun) dan denda kategori II”.
Pasal 419: (1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.
Pasal ini mengkriminalisasi setiap bentuk persetubuhan di luar perkawinan atau extra marital sex dan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan.
Memang dalam rumusan selanjutnya mengenai extra marital sex disebutkan bahwa yang berhak mengajukan pengaduan adalah orang tua, anak dan pasangan.
“Namun, untuk kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri, aduan juga dapat dinisiasikan oleh kepala desa dan setingkatnya,” kata dia.
Disebutkan, ide kriminalisasi ini menyasar ruang privat. Pasal ini akan berdampak pada sektor pariwisata terutama sektor perhotelan karena mempengaruhi nilai atau citra Indonesia.
Kriminalisasi ini menandakan bahwa Indonesia cenderung mengarah pada nilai konservatisme, mengintrusi ruang privat tidak hanya warga negaranya namun juga setiap orang yang berada di Indonesia, karena pasal ini akan berlaku juga pada wisatawan.
Kemudian, mempengaruhi reputasi, dengan maraknya penggerebekan oleh organisasi masyarakat maupun aparat penegak hukum, otomatis menurunkan popularitas dan nama baik hotel dan industri pariwisata.
“Dengan adanya kriminalisasi maka akan ada legitimasi bagi tindakan-tindakan ormas atau kelompok lainnya yang menyatakan bahwa perbuatan ini dilarang,” tukasnya.
Lalu, mengurangi ketertarikan warga negara asing berkunjung. Australia pada September 2019, mengeluarkan travel advice untuk warga negaranya yang berkunjung di Indonesia, dengan mempertimbangkan adanya RKUHP. Adanya standar moral baku yang membuat enggan turis asing berkunjung.
Bali Tourism Board pada September 2019 lalu telah menyatakan kekhawatirannya karena kecenderungan saat itu pun wisawatan beralih ke Thailand yang lebih melindungi privasi wisatawan.
Berikutnya, persyaratan menginap akan dipersulit. Dengan diberlakukannya ketentuan hukum seperti ini, maka pihak hotel akan dibayang-bayangi upaya mencegah terjadi tindak pidana, sehingga mereka dapat saja menghadirkan persyaratan menginap yang lebih banyak.
Sebagai contoh saat ini terdapat hotel syariah yang menawarkan halal tourism menerapkan serangkaian persyaratan menginap, mulai dari kartu nikah, foto bersama keluarga, bahkan ada pula yang menghakimi ekspresi seseorang hanya dari tampilan luarnya.
Walaupun dengan persyaratan yang diperketat, pada intinya pihak hotel juga tidak bisa memastikan ada atau tidaknya perbuatan zina pada tamu-tamu hotel, namun mereka telah dibebankan kewajiban yang tidak perlu.
Lebih jauh Direktur Yayasan Kasih Pelangi Dewata Bali, Cristian menyebut, tidak hanya berkaitan dengan extra marital sex dan hidup bersama sebagai suami istri.
Pasal lainnya yang mengintrusi ruang privat adalah Pasal 420 RKUHP yang mengkriminalisasi perbuatan cabul dengan adanya unsur tindak pidana ‘sama jenis kelaminnya’.
Kata dia, jika melihat perjalanan pasal ini, intensi perumusannya menyasar kelompok masyarakat dengan orientasi seksual berbeda.
Pasal 420: “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
(1) di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.
(2) secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(3) yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Sekalipun memuat dengan tiga syarat perbuatan, namun dengan adanya unsur ‘sama jenis kelaminnya’ kata Cristian, membuat adanya kekhawatiran bagi kelompok orientasi seksual berbeda, yang tak sedikit juga merupakan wisatawan di Indonesia.
Permasalahan pasal-pasal di dalam RKUHP yang mengintrusi ruang privat juga terkait dengan pasal lainnya dalam RKUHP, yaitu Pasal 2 tentang kriminalisasi berdasarkan hukum yang hidup di dalam masyarakat dengan bunyi:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-undang ini.
Dikatakannya, dengan pasal ini seseorang dapat dihukum atau dipidana atas dasar ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’.
Dalam penjelasan RKUHP tersebut, hukum yang hidup di masyarakat akan didasarkan pada peraturan daerah yang akan dikompilasikan.
Sering kali aturan di masyarakat dan di tingkat daerah mendiskriminsasi kelompok tertentu misalnya perempuan, kelompok minoritas seksual.
Berdasarkan data Komnas Perempuan pada 2018 terdapat 421 Perda diskriminatif terhadap perempuan, yang mengatur misalnya melarang perempuan tidak keluar pada malam hari atau mengatur cara berpakaian perempuan.
Berdasarkan data Arus Pelangi di 2018, terdapat enam kebijakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas seksual seperti LGBT.
“Masalah-masalah RKUHP di atas berbanding terbalik dengan berhasilnya pembangunan suatu daerah. Terutama daerah-daerah yang bergantung dari berkembangnya sektor pariwisata. Dalam kondisi pandemi covid saat ini, pariwasata merupakan salah satu sektor yang paling berdampak. Munculnya perdebatan dan ketidakpastian dalam RKUHP nantinya tentu saja akan menimbulkan kondisi yang dapat mengakibatkan sektor pariwasata makin menderita,” tandas Cristian. (*/Gabriel Simanjuntak)
Discussion about this post