Soal Perppu No.1/2020, Begini Kata MK
JAKARTA / KONSTRUKTIF
Para Pemohon uji materi Perppu No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diseases 2019 menilai penerbitan peraturan tersebut tidak memenuhi parameter kegentingan yang memaksa.
Rabu, 29 April 2020 | 04:22 WIB
Selasa (28/4/2020) Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Perppu Penanganan Covid-19 di ruang sidang. Sidang tersebut digelar untuk tiga nomor perkara yang diajukan oleh M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, Amien Rais, dan 21 Pemohon lainnya yang tertuang dalam Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020.
Kemudian, perkara No.24/PUU-XVII/2020 dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Bintang Solo Indonesia 1997, dan 3 lembaga serta perkumpulan lainnya.
Selanjutnya, perkara No.25/PUU-XVII/2020 yang diajukan Damai Hari Lubis yang berprofesi sebagai pengacara dan aktivis organisasi kemanusiaan.
Dalam permohonannya, para pemohon perkara No.23/PUU-XVII/2020 yang
diwakili oleh Ahmad Yani menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 16, Pasal 23, Pasal 27, dan Pasal 28 Perppu Penanganan Covid-19 bertentangan dengan UUD 1945.
Ahmad Yani menyatakan Perppu Penanganan Covid-19 tidak memenuhi parameter adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana Putusan MK No.138/PUU-VII/2019.
“Dalam Perppu tersebut, hanya dibahas masalah keuangan dan anggaran negara berupa pemberian kewenangan bagi Pemerintah untuk menentukan batas defisit anggaran di atas 3 persen terhadap UU APBN hingga tahun 2022,” katanya di Ruang Sidang MK pada Selasa (28/4/2020).
Pengaturan yang demikian, sambung Yani, bertentangan dengan karakter periodik UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 karena mengikat tiga periode sekaligus.
Selain itu, para pemohon juga melihat bahwa ketentuan norma tersebut membuka peluang defisit anggaran di atas 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa menentukan batasan maksimalnya.
Sehingga secara langsung, ketentuan ini membatasi daya ikat kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan APBN. Padahal, ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menyebutkan UU APBN harus mendapatkan persetujuan rakyat yang diwakili oleh DPR.
“Persetujuan DPR ini teramat penting karena mencerminkan kedaulatan rakyat. Jika DPR tidak menyetujui Rancangan UU
APBN, maka Pemerintah tidak punya pilihan selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Akan tetapi pasal pada ketentuan a quo, menihilkan arti penting persetujuan DPR ini,” ujarnya.
Menanggapi perkara tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyampaikan beberapa catatan kepada para Pemohon Perkara 23/PUU-XVIII/2020 bahwa perlu adanya elaborasi terkait legal standing yang menyatakan diri sebagai warga negara yang membayarkan pajak.
“Sehingga perlu diperjelas kedudukan hukum antara kaitan kapasitas para Pemohon sebagai pembayar pajak dengan hak-hak konstitusional tersebut,” ujarnya.
Kemudian, para Pemohon perlu menjelaskan pula hubungan statusnya dengan Pasal 23 UUD 1945 dalam korelasi beberapa profesi sehingga identitas para Pemohon dengan hak konstitusional yang terlanggar terdapat keterkaitan sebab-akibat yang lebih jelas.
Selain itu, diperlukan uraian komparasi sehubungan dengan penerapan konstitusi terhadap perubahan postur anggaran dari negara lain yang juga mengalami dampak dari wabah Covid-19.
Sementara itu, Hakim Daniel menilai Pemohon perlu menguraikan kerugian konstitusional, baik yang mewakili perorangan, sebagai PNS, maupun sebagai lembaga swadaya masyarakat. ( Realita)
Discussion about this post