KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) tangkap tangan Bupati Kutai Timur, bersama istrinya yang juga ketua DPRD Kutai Timur.
Suami istri, dipenjarakan! Sungguh luar biasa, sekaligus menyakitkan. Memalukan, memuakkan dan menjijikan.
Tapi sudahlah. Yang ingin disampaikan, bahwa masih ada pejabat “kepala.batu”. Tidak merasa takut dengan apa yang disebut hukum, dan tidak peduli apa yang dikatakan moral. Justru lebih memilih berurusan dengan hukum dan tersenyum ketika disebut amoral.
Pasangan suami-istri itu, lebih memilih jalan salah, yakni mempatgulipatkan anggaran pengadaan barang dan jasa di wilayah kerjanya.
Itu artinya, dengan apa yang dilakukan Bupati bersama istrinya, menunjukkan peranan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), sudah benar-benar dikebiri. Dijadikan badut, dan tidak dapat menjalankan fungsi dan pakta integritasnya sebagai PPK.
Atau patut, tertangkapnya Bupati Kutai Timur, sebagai cerminan betapa serakahnya seorang kepala daerah dalam menguasai anggaran. Betapa kuatnya cengkeraman tangan seorang kepala daerah dalam menyetir pakta integritas PPK, sehingga pengadaan barang dan jasa menjadi haknya.
Pantas saja, kebanyakan PPK bertindak sebagai agen proyek, yang kerjanya menawar-nawarkan pekerjaan di Simpang Empat, sembari mengopi.
Apalagi di masa sebaran pandemi Covid-19, yang dikategorikan sebagai bencana alam nasional, proyek pekerjaan memutus rantai sebaran virus tidak dalam proses tender, tetapi main tunjuk.
Di posisi main tunjuk inilah, rentan terjadi pembagian proyek bernuansa kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Bupati Kutai Timur itu, ditangkap tangan karena terindikasi KKN. Bagaimana dengan kepala daerah lainnya di masa sebaran pandemi Covid-19? Apakah PPK itu, mereka jadikan juga, hanya sebagai badut?
Mari menunggu kabar buruk, kepala daerah di-OTT KPK atau menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena menyalahgunakan anggaran percepatan penanganan sebaran virus Corona atau Covid-19. (K1)
Discussion about this post