SIANTAR | Konstruktif. Id
Meningkatnya serangan persetubuhan terhadap santriwati di lingkungan pondok pesantren (ponpes), tempat-tempat pondok pengajian serta satuan pendidikan berasrama di Indonesia, membuktikan tidak sterilnya lembaga tersebut dari kekerasan seksual.
Tidak berlebihan pula bahwa sebagian dari ponpes dan tempat-tempat pengajian tersebut telah dikepung oleh para predator dan monster anak.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait dalam keterangan tertulis diterima media ini pada Sabtu (8/1/2022).
Hal itu kata Arist, setelah pihaknya menelusuri peristiwa dan kasus-kasus kejahatan seksual yang terjadi di lingkungan ponpes dan pondok-pondok pengajian yang berlandaskan agama dan non agama di beberapa daerah. Situasi ini kata dia, didukung fakta dan kejadian yang terkonfirmasi.
Sepanjang akhir Desember 2021, Komnas PA mencatat 12 kasus dan peristiwa kejahatan seksual terhadap anak dilakukan sebagian oknum pengelola maupun guru pesantren dan guru ngaji dari pondok pesantren serta tempat-tempat pengajian dan satuan lembaga pendidikan berasrama.
“Belum reda dari ingatan kita, sebuah kasus di Bandung di awal Desember 2021, seorang oknum guru pesantren FG (42) melakukan serangan persetubuhan terhadap 21 santriwati selama dua tahun mengakibatkan 21 korban melahirkan bayi bahkan ada yang sampai melahirkan dua kali,” beber Arist, memberikan keterangan di Jakarta.
Peristiwa ini menurut dia, membuat masyarakat resah dan ada yang meminta pelaku agar dihukum seumur hidup dan kebiri, bahkan secara emosional ada juga yang minta pelaku dihukum mati.
“Itulah berbagai ragam kemarahan dan murka masyarakat terhadap kasus ini. Banyak masyarakat tidak menduga peristiwa ini terjadi,” katanya.
Belum lagi kasus selesai ditangani Pengadilan Negeri di Bandung, kasus serupa dengan berbeda jumlah korban juga terjadi di Garut. Seorang pengurus sekaligus pengajar atau guru mengaji di salah satu ponpes berinisial HA (52) melakukan rudapaksa terhadap 11 santriwatinya.
Perbuatan itu dilakukan di lingkungan pondok bahkan dilakukan tempat sembahyang yang sakral dan tempat mengajar pengajian.
Peristiwa yang sama juga terjadi di lingkungan ponpes di Cilacap, Jawa Tengah. Seorang oknum guru ngaji berinisial GK (52) melakukan rudapaksa terhadap empat santrinya hingga hamil.
Demikian juga terjadi di salah satu pondok pengajian berasrama di Sidoarjo, Jawa Timur. Pelakunya adalah guru ngaji kakak beradik, MS (42) dan TH (44), terhadap 23 muridnya.
Peristiwa ini juga telah membuat geger dan resah masyarakat, karena tak menyangka kasus itu terjadi di lingkungan ponpes yang menjunjung nilai-nilai keagamaan.
Demikian juga di Jombang, Jawa Timur, peristiwa kejahatan seksual yang sama diduga dilakukan DG (37), pemilik ponpes besar di Jombang terhadap santriwatinya hingga korban hamil.
“Peristiwa ini juga sedang ditangani Polda Jatim. Namun hingga saat ini kasusnya sedang parkir di Polda Jatim dan entah apa alasannya Polda Jatim belum bekerja sesuai dengan kewenangannya,” ungkap Arist. “Kasus dugaan kejahatan seksual ini dilakukan oleh salah seorang dari ulama besar dan terkenal di Jombang,” imbuhnya.
Lalu di Brebes, Jawa Tengah juga terjadi serangan seksual terhadap muridnya dengan cara bujuk raju dan tipu muslihat dilakukan oleh guru pesantren berinisial MK (38) terhadap enam santrinya di bawah usia. Modus pelaku selain sebagai guru ngaji, namun juga sebagai paranormal yang berdalil dapat mengobati korban.
Kasus kekerasan seksual terhadap santriwati di salah satu ponpes modern dan ternama Al Izzah di Kota Batu Malang, juga terjadi dan sebagian korban saat ini mengalami trauma berat. Pelakunya adalah HS (32) berprofesi sebagai guru.
Ada juga kasus kejahatan seksual dalam bentuk sodomi yang dilakukan seorang guru ngaji di Kota Depok, Jawa Barat berinisial BM (36) terhadap 15 orang anak dari 39 muridnya. Puluhan korban saat ini mengalami trauma dan pelaku telah ditangkap dan diamankan Polres Metro Depok.
Teranyar pada 6 Januari 2022, Komnas PA kata Arist, mendapat laporan dari masyarakat bahwa telah terjadi kekerasan seksual terhadap santrinya di bawah usia yang dilakukan HF (45), pengelola sekaligus pemilik ponpes di Kecamatan Ciparay, Bandung, Jawa Barat. Atas perbuatannya pelaku sudah ditangkap dan diamankan Polres Soreang Bandung.
Menurut Arist, sesungguhnya kasus serangan persetubuhan dan rudapaksa melalui pendekatan bujuk rayu, janji, iming-iming, dan tipu muslihat terhadap santriwati sudah banyak terjadi di Indonesia.
Data menunjukkan, sepanjang tahun 2019-2020, Komnas PA menangani banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan yang berasrama termasuk pesantren kecil dan besar.
Termasuk kasus kejahatan seksual terhadap 23 orang anak di salah satu ponpes terkenal dan besar di Pasuruan, Jawa Timur. Dengan kerja cepat advokasi dan litigasi, Komnas PA, akhirnya pemilik sekaligus pengelola ponpes berinisial AH (36) dihukum sembilan tahun pidana penjara.
Demikian juga terhadap tiga guru pesantren di salah satu ponpes di Lampung Timur, masing-masing UH (42), GH (38), dan SB (34) dengan hukuman 20 tahun penjara. Peristiwa yang sama juga terjadi di ponpes Tasikmalaya, Sukabumi, Batam, Bengkulu, Sulawesi Barat, dan Medan.
“Dari data-data dan peristiwa itu, tidaklah berlebihan jika Komnas Perlindungan Anak menyimpulkan bahwa sebagian lingkungan ponpes, maupun lembaga dan satuan pendidikan baik berasrama maupun non asrama sudah dikepung oleh predator dan monster anak,” tegas Arist.
Itu sebabnya kata dia, Komnas PA mengajak para alim ulama, dan tokoh agama secara bersama menempatkan berbagai peristiwa ini menjadi isu bersama (common issue).
Demikian juga hukum harus ditegakkan dan sudah saatnya pula Menteri Agama dan Kantor Wilayah Kemenag hadir untuk mengevaluasi dan memonitoring keberadaan ponpes di Indonesia, termasuk izin pengelolaan dan standar hadirnya sebuah lembaga pendidikan, baik dalam bentuk ponpes dan lembaga pengajian.
Arist juga mengajak para orang tua sudah saatnya lebih selektif memilih ponpes dan penempatan anak untuk mengikuti sekolah berlatar belakang keagamaan.
“Ayo bebaskan ponpes, lembaga dan satuan pendidikan berlatar belakang dan non agama dari predator dan monster anak dan bebaskan anak dari segala bentuk kekerasan,” kata Arist. (*/Gabriel Simanjuntak)
Discussion about this post