(Sebuah Wawancara Imajiner)
Calon tunggal itu, setidaknya telah memaksa peraturan yang berlaku dalam tahapan pemilihan kepala daerah Kota Pematangsiantar untuk mengeluarkan “Koko” — KOTAK KOSONG atau nama lainnya KOLOM KOSONG — sebagai peserta pemilihan umum yang memiliki hak untuk dipilih.
Seperti apa gemuruh hati
“Koko” ya, saat diperhadapkan dengan calon tunggal yang memborong partai demikian banyak? Siapakah yang merasa jantungan, saat agenda pemilihan pada 9 Desember 2020 digelar?
Sudah jaminankah, dengan koalisi partai yang banyak, si calon tunggal akan memenangkan Pilkada? Apa saja tafsir yang muncul atas kerja calon tunggal yang tampil dengan memborong (koalisi) partai?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, demikian bebasnya bermain-main di benak teman kami (Konstruktif.id).
Tidak terasa, ini hari ketiga, kami menjadi tamu “Koko”.
Bagi kami, “Koko” menjadi sangat fenomenal, karena di Pilkada serentak tahun ini, ada 31 daerah dimana calon tunggal diperhadapkan dengan “Koko” — KOTAK KOSONG atau nama lainnya KOLOM KOSONG.
Di hari ketiga ini, kami mulai percakapan yang lebih serius, walau tetap berpayung pada keteduhan rasa dan perasaan.
“Seperti apa ya gemuruh hati ‘Koko’, saat peraturan telah menetapkan ‘Koko’ sebagai peserta yang memiliki hak untuk dipilih,” tanya teman kami.
“Koko” menarik nafas. Agak dalam dan ditahan beberapa detik, dan kemudian dikeluarkan perlahan-lahan.
Gerakan tersebut, menggambarkan adanya hal yang kurang berkenan dalam pikiran “Koko”.
“Jika diikuti kata hati, sebenarnya saya tidak menginginkan hal ini. Seharusnya, saya sebagai ‘Koko’ tidak perlu hadir, apalagi diperhadapkan dengan calon tunggal yang punya kepintaran mumpuni dan punya kemampuan finansial dalam mempersiapkan cost politics untuk mendapatkan banyak partai,” kata “Koko”.
“Kalau boleh tahu, menurut Anda, seperti apa seharusnya para bakal calon mendapatkan partai pengusung maupun partai pendukung?” tanya teman kami.
“Sebenarnya, para bakal calon kepala daerah itu, orang pintar, yang sudah pasti sangat paham tentang aturan dan peraturan yang berlaku dalam tahapan pemilihan. Salah satunya, terkait sudah ditetapkannya persyaratan jumlah kursi partai yang ada di DPRD, yang harus dimiliki bakal calon kepala daerah. Jika ditetapkan 7 kursi, seyogianya bakal calon sudah cukuplah mencari yang 7 kursi itu,” kata “Koko”.
Kemudian, “Koko” menjabarkan, jika di DPRD itu ada 30 atau 35 kursi, maka sesuai peraturan, akan muncul 4 sampai 5 pasangan bakal calon kepala daerah.
“Jika itu terjadi, tentu saya yang disebut sebagai ‘Koko’, tidak perlu muncul,” kata “Koko”.
“Lantas, tafsir apa yang dapat Anda sampaikan dengan hasil yang muncul adalah calon tunggal dan diri Anda yang kami nobatkan dengan panggilan ‘Koko’. Silahkan Anda paparkan. Bebas dan blak-blakan, juga boleh, kami beri ruang lebih luas,” kata teman kami.
(Inilah tafsir yang disampaikan “Koko”….
“Saya, melihat dari sisi moral, bagaimana memberi kesempatan bagi orang lain, eforia punya kemampuan finansial dengan memborong banyak partai, adanya kebanggaan yang sebenarnya tidak pantas dibanggakan.
Sisi lainnya, partai yang tidak punya kader untuk ikut Pilkada (koq ketua partainya tidak mencalonkan diri), dan terpenjaranya kebebasan menetapkan pilihan.)
(Ijin warga Kota Pematangsiantar✓Episode pertemuan imajiner bersama si “Koko” kita lanjutkan besok ya…Episode ini akan berkelanjutan hingga 9 Desember 2020
Salam, Ingot Simangunsong)
Discussion about this post