Jakarta | Konstruktif.ID – Empat dari tujuh organisasi buruh yang terlibat dalam pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan melayangkan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstutusi (MK).
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mencatat setidaknya ada 12 pasal dalam klaster ketenagakerjaan yang dianggap merugikan buruh.
Belasan pasal itu mencakup soal pesangon, sistem kontrak dan alih daya, serta pengupahan.
Menanggapi hal itu, Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan siap digugat dan bakal menerima apapun putusan MK.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban, mengatakan pihaknya segera mendaftarkan gugatan uji materi Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) begitu undang-undang itu ditandatangani presiden dan dinomorkan.
Dari Undang-Undang berjumlah 812 halaman itu, katanya, setidaknya ada 12 pasal bermasalah yang mengatur tentang pesangon, sistem kontrak, pekerja alih daya, dan pengupahan.
“Kami sudah dapat dokumen yang 812 halaman dan kami optimis menang. Sudah kita pelajari dan tinggal menunggu nomor di-undangkan,” ujar Elly Rosita Silaban kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (15/10).
Karyawan bisa dikontrak seumur hidup
Juru bicara Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S Cahyo, mengatakan, dalam Pasal 59 soal pekerja untuk waktu tertentu atau kontrak, tidak mengatur batasan berapa lama.
Padahal jika merujuk pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, pekerja bisa dikontrak paling lama dua tahun dan diperpanjang satu tahun.
Tujuan adanya pembatasan itu, menurut Kahar, agar ada kepastian jangka waktu pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan buruh.
“Pasal di UU Ketenagakerjaan itu hilang, kalau begitu dampaknya karyawan bisa dikontrak berulang-ulang seumur hidup,” jelas Kahar S Cahyo kepada BBC News Indonesia saat dihubungi lewat telepon, Kamis (15/10).
Pekerja alih daya bisa menempati semua posisi
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban, menjelaskan Pasal 66 dalam Undang-Undang Cipta Kerja tidak jelas menerangkan jenis pekerjaan yang bisa diserahkan kepada perusahaan alih daya.
Sementara di Undang-Undang Ketenagakerjaan, setidaknya ada lima jenis pekerjaan yang bisa dialih dayakan seperti sopir, petugas kebersihan, sekuriti, katering, dan jasa migas pertambangan.
“Dampaknya pekerja alih daya dapat digunakan untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi. Ini yang kami kritisi sehingga nantinya tidak ada tanggung jawab perusahaan pemberi kerja,” imbuh Elly Rosita.
Penghitungan upah minimum kota merugikan
Pasal 88C dan 88D yang mengatur tentang upah dalam Undang-Undang Cipta Kerja, kata Elly, menghilangkan aturan mengenai penetapan Upah Minimum Sektoral.
Sementara penetapan Upah Minimum Kota/Kabupaten bisa dilakukan dengan syarat.
“Upah sektoral itu kita ingin tetap ada, karena itulah yang membedakan pekerja yang di perusahaan risiko tinggi dan rendah,” jelas Elly.
“Lalu gubernur dapat menetapkan UMK dengan syarat tertentu. Itu artinya tidak mengikat atau bisa tidak dilakukan. Ini yang kita kalau kita tidak teliti bisa terkecoh.”
Formula pengupahan juga menurutnya, merugikan lantaran komponen hitungannya hanya satu saja antara pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Sementara di Undang-Undang Ketenagakerjaan, dua komponen itu masuk dalam menghitung besaran upah.
Besaran pesangon mengecil
Pasal 156 Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur tentang pesangon menghilangkan frasa “paling sedikit”. Sehingga perusahaan, kata Elly, bisa mengurangi besaran pesangon yang semestinya diterima buruh.
“Perubahan ini mengandung makna buruh tidak lagi mendapat hak pesangon melebihi dari apa yang diatur pada pasal 156.”
Selain itu, ia juga mencatat, dihapusnya pasal 162 sampai 167 mengakibatkan buruh yang dianggap melakukan pelanggaran tanpa ada peringatan oleh perusahaan, bisa diberhentikan tanpa mendapat pesangon.
Persoalan lain, pekerja yang mengundurkan diri tidak mendapat uang penggantian hak. Pun, pekerja yang diberhentikan akibat merger tidak mendapat pesangon dua kali upah tapi hanya satu kali.
“Kemudian pekerja yang diPHK akibat adanya efisiensi tidak lagi mendapat pesangon dua kali ketentuan, tapi hanya satu kali.”
“Yang meninggal juga tidak mendapat ketentuan dua kali upah, tapi satu kali.”
“Pekerja pensiun juga tidak mendapat 32 kali upah, tapi hanya 25 kali upah.”
“Bahkan, buruh yang perusahaan pailit tidak mendapat pesangon.”
UU MK yang baru ‘bisa menurunkan daya kritis hakim konstitusi’
Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi ada dua jenis yakni formil dan materil.
Kalau uji materil, maka organisasi buruh harus menguraikan sejumlah pasal yang dinilai bermasalah itu kemudian mendalilkannya pada pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
“Misalnya pasal mengenai pesangon melanggar hak untuk penghidupan yang layak seperti di pasal 27 UUD 1945.”
Dalam uji materil pula, katanya, hakim MK akan meneliti dalil pemohon, keterangan saksi ahli, dan pembuktian di persidangan.
Namun demikian, hakim bisa memutus uji materil itu tanpa perlu menghadirkan saksi ahli atau pembuktian sehingga persidangan tidak memakan waktu lama.
Sedangkan uji formil mendasarkan gugatan pada proses legislasi yang melanggar pasal 20 UUD 1945 di mana pembentukan undang-undang harus partisipatif.
Menurut Bivitri, jika melihat proses pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja, maka bisa dipastikan tidak cukup partisipatif dan terburu-buru dalam proses pembahasan.
“Ada dua fraksi yang tidak setuju saja itu sudah cacat prosedural. Ada perubahan draf sampai dikirim ke presiden, itu bisa jadi dasar uji formil.”
Hanya saja Bivitri menyimpan sedikit keraguan pada hakim konstitusi dalam memutus perkara ini setelah disahkan Undang-Undang MK yang baru di mana hakim bisa menjabat sampai 15 tahun.
“Dengan adanya Undang-Undang MK ini bisa menurunkan daya kritis hakim. Tapi peluang menang atau kalah, faktornya banyak. Apakah pembuktian baik atau tidak, apakah ahli yang dihadirkan bisa meyakinkan hakim atau tidak,” jelasnya.
Pemerintah: ‘Kami siap kalau MK putuskan dibatalkan’
Staf Khusus Kementerian Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari, mengatakan pihaknya akan menjalankan apapun keputusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review yang dilayangkan sejumlah organisasi buruh.
Ia mengeklaim, pasal-pasal yang tertuang dalam UU Cipta Kerja merupakan “titik kompromi paling maksimal” yang bisa diupayakan kementerian.
“Yah kita akan sesuaikan. MK sebagai pengambil keputusan tertinggi kalau bilang batalkan atau ubah, kita lakukan,” ujar Dita Indah Sari kepada BBC News Indonesia, Kamis (15/10) lewat sambungan telepon.
Kendati demikian, ia meminta tujuh organisasi buruh yang terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja agar tetap ikut serta dalam pembahasan dan perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah.
Aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja itu, katanya akan ada empat hal di antaranya mengenai pengupahan, penyelenggaraan hubungan ketenagakerjaan, dan tenaga kerja asing.
“Proses pembahasan PP jangan diabaikan, justru nanti akan menimbulkan masalah baru karena tidak terinformasikan perkembangannya. Jadi silakan ke MK, tapi dialog pembuatan PP dijalani juga.”
“Supaya tidak timbul salah paham lagi, nanti menganggap pemerintah tidak akomodatif padahal teman-teman menolak dialog.”
Empat PP itu, kata dia, ditargetkan rampung pada pekan pertama November mendatang. Sejumlah kalangan mulai dari akademisi, organisasi buruh, pakar, akan diundang.
Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disetujui dalam Rapat Paripurna 5 Oktober lalu telah diserahkan ke Presiden Jokowi pada Rabu (14/10) untuk kemudian di-nomorkan agar sah sebagai undang-undang yang berlaku.
Saat pembahasan, UU Cipta Kerja mendapat banyak penolakan dari kelompok buruh, akademisi, dan pegiat lingkungan karena dinilai merugikan pekerja dan merusak lingkungan.
Tapi Presiden Jokowi menepis sangkaan itu dan menyatakan undang-undang ini mendorong tumbuhnya investasi dan menyediakan lapangan kerja. (sumber: bbcindonesia)
Discussion about this post