Medan | Konstruktif.id
Masih segar dalam ingatan kita, beberapa bulan lalu, ada upaya kelompok orang tertentu, membangun opini bahwa pemerintah (Presiden Jokowi Cs-red) ingin melemahkan KPK melalui UU yang baru.
Perjalanan waktu membuktikan, tuduhan itu adalah upaya menggerus kepercayaan publik kepada pemerintah saat ini. Bahkan, bila ditelisik lebih jauh, jangan-jangan ada “agenda” mereka yang terganggu.
Publik memang banyak yang mudah terperdaya. Seperti melihat permukaan air laut. Terlihat tenang di permukaan, ternyata ada ikan buas menunggu mangsa. Atau terlihat berombak besar, pada hal pada kedalaman tertentu biasa saja dan aktivitas biota lautnya normal.
Terus ada bumbu-bumbuan pula. Mengumumkan diri –bagai selebiriti– mengundurkan diri, setelah UU yang baru. Alasannya klasik, sudah tidak cocok lagi dengan “iklim” internal, karena KPK dilemahkan.
Kenyataannya KPK tetap eksis dan bekerja. Tidak dilemahkan seperti opini yang mereka bangun itu. Tidak tanggung-tanggung pula kinerjanya, dua orang menteri Jokowi dari dua partai terbesar saat ini, dipersangkakan dalam tindak pidana khusus korupsi. Selain OTT dua bupati, pengusutan kasus kasus lama juga terus berlanjut.
Terjawab sudah keraguan publik, tidak benar ada pelemahan KPK. Penyadapan tetap beralangsung baik, walau ada pengawasan (izin). Sebaliknya, penyadapan tidak dilakukan seenak udel, apalagi untuk sebuah agenda tersembunyi.
Justru kejadian ini membangun opini umum yang baru, karena selama ini kendali penyadapan dipegang orang tertentu tanpa kontrol, bisa-bisa dipergunakan untuk tujuan di luar agenda KPK. Mudah-mudahan tidak lah. Apalagi sempat terendus ada bau “amis” kadal gurun di dalam maupun dewan pengawas sebelumnya.
Dulu saya termasuk yang ikut tidak setuju sikap anggota DPR, Masinton Pasaribu, Fahri Hamzah dkk yang menuding KPK sebagai lembaga yang bertindak sewenang-wenang. Seperti sebuah kerajaan dalam negara yang berdaulat. Apalagi sampai adanya wacana membubarkan KPK, dengan membentuk devisi khusus Polri: pemberantasan korupsi.
Terlepas dari intrik-intrik politik anggota DPR, setidaknya membuka wacana dilakukannya penyempurnaan UU tentang KPK, secara khusus untuk izin penyadapan. Seperti yang saya sebut di atas, bukan tidak mungkin ada agenda tertentu dalam penyadapan, baik dalam motif politik ataupun materi.
Pertanyaan baru akan muncul, setelah membidik menteri, apakah juga akan mengarahkan bujur panah ke gubernur terdekat KPK. Patron tatakelola pemerintahan si penista agama sudah ada, tentu akan lebih mudah mengaudit anggaran yang tersaji. Termasuk niatan menambah penghasilan DPRDnya di saat negeri terluka oleh pandemi, biasanya dalam politik selalu ada imbal balik kemurahan hati. Semisal untuk tidak mengusik E-Formula yang batal dilaksanakan, perluasan pantai Ancol dll. (Poltak Simanjuntak).
Discussion about this post