Balige | Konstruktif.id
Daulat Sihombing SH MH, Advokat dari Sumut Watch selaku Penasehat Hukum atas nama dan kepentingan Delvina Br Naibaho selaku Pelapor/Pengadu sekaligus Penggugat dalam Perkara No 51/ Pdt G/2020/PN Blg, melaporkan atau mengadukan 3 (tiga) Hakim PN Balige ke Ketua Mahkamah Agung RI, cq Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung, karena dianggap melanggar Hukum Acara.
Ketiga Hakim tersebut masing–masing : Azhari P Ginting SH sebagai Ketua Majelis (dikabarkan telah pindah tugas dari PN Balige), Hans Prayugotama SH dan Arija Br Ginting SH, selaku Terlapor/Teradu sekaligus Anggota Majelis dalam Putusan Perkara Nomor : 51/Pdt.G/2020/PN Blg, tanggal 15 -02- 2021.
Dalam Surat Sumut Watch, Nomor : 94/SW/V/2021, tanggal 25 Mei 2021, yang ditujukan kepada Ketua MARI cq Kepala Badan Pengawasan MARI, Daulat menjelaskan bahwa berdasarkan penetapan hakim pada hari persidangan sebelumnya, putusan perkara dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 15 Februari 2021, dan para pihak hadir tanpa dipanggil.
Lalu pada hari Senin, tanggal 15 Februari 2021, sekitar pukul 10.00 WIB, pihaknya selaku kuasa Pelapor/Pengadu telah hadir di PN Balige dan sebagaimana biasa telah mendaftarkan kehadiran kuasa Pelapor/Pengadu dalam daftar hadir yang disediakan oleh pengadilan. Namun setelah menunggu sekitar 1 (satu) jam, Panitera Pengganti bernama Nella Gultom SH menginformasikan bahwa putusan perkara tidak disidangkan dalam ruang persidangan melainkan akan diberitahukan secara ecourt yang informasi resminya dapat diakses paling lama pukul 18.00 WIB. Sekitar pukul 19.00 WIB, pihaknya selaku Pelapor/ Pengadu kemudian menerima pemberitahuan petikan putusan melalui ecourt, yang amarnya menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
Perkara No 51/Pdt.G/2020/PN Blg pada pokoknya ialah sengketa tanah Golat (tanah Ulayat) seluas +/- 17.090 M2 yang terletak dalam hamparan tanah Golat Naibaho di Desa Sabunganni Huta Kec Ronggurni Huta Kab Samosir, sebagaimana tersebut dalam SHM No 12/ Huta Tinggi, Surat Ukur No 12/ Hutatinggi/2001, atas nama Sinto Sihotang, antara Penggugat Delvina Br Nadeak dengan Morik Manalu (T- I), Parat Yohannes BT (T- II) dan Drotty Hottarida (T – III) selaku isteri dan anak sekaligus ahli waris dari Sinto Naibaho.
Tergugat I, II dan III mengaku isteri dan anak dari Sinto Sihotang, sedangkan nama Sinto Sihotang adalah nama fiktif yang tidak ada dan tidak pernah ada dalam data kependudukan desa.
Penggugat menuntut SHM No 12/ Hutatinggi/2001 atas nama Sinto Sihotang haruslah dinyatakan tidak berkekuatan hukum, karena nama Sinto Sihotang dalam SHM No 12 adalah fiktif yang tidak ada dan tidak pernah ada. Namun dalam pertimbangan putusan, Majelis Hakim menyatakan bahwa sekalipun nama Sinto Sihotang tidak dikenal dalam data kependudukan desa, akan tetapi berdasarkan keterangan saksi Tergugat bahwa nama Sinto Sihotang dalam SHM No 12/ Hutatinggi/2001, sama dengan Sinto Naibaho.
Salah dan Keliru menerapkan PERMA No 1 Tahun 2019
Daulat berpendapat bahwa tindakan Para Terlapor/ Teradu yang memutuskan perkara tanpa melalui persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum, adalah pemahaman yang SALAH dan KELIRU terhadap esensi dari Peraturan MARI Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Negeri Secara Elektronik.
Menurut Daulat, benar Pasal 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2019, mengatur : “Persidangan secara elektronik dalam peraturan ini berlaku untuk proses persidangan dengan acara penyampaian gugatan/ permohonan/ keberatan/ bantahan/ perlawanan/ intervensi berserta perubahannya, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan dan pengucapan putusan/penetapan”, namun sesuai dengan hakekat dari penerbitan PERMA Nomor 1 Tahun 2019 adalah Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan”, maka haruslah dimaknai bahwa PERMA No 1 Tahun 2019 hanya mengatur sepanjang mengenai “administrasi perkara dan administrasi persidangan” yang bersifat nonjudicial.
Sedangkan sidang pembacaan atau pengesahan putusan perkara tentulah bukan domein administrasi perkara atau administrasi persidangan, akan tetapi merupakan domein yang bersifat judicial karena menyangkut hukum acara perdata, sehingga harus disidangkan dan diputuskan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
Sejak terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi dan Persidangan di Pengadilan Negeri Secara Elektronik, ujar Daulat,pihaknya selaku Pelapor/ Pengadu sama sekali belum pernah mengetahui atau mengalami adanya putusan perkara yang hanya diberitahukan secara eqourt, tanpa melalui persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum.
Melanggar UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 13 ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa : “Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali undang- undang menentukan lain”. Selanjutnya ayat (2) menegaskan : “Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Kemudian ayat 3 (tiga) menegaskan lagi : “Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum”.
Berdasarkan hal tersebut, Daulat Sihombing, yang juga mantan Hakim Adhoc pada Pengadilan Negeri Medan ini meminta agar Ketua MARI, cq. Kepala Badan Pengawasan MARI, memeriksa masing – masing hakim yang bersangkutan dan menindak jika terbukti bersalah melakukan pelanggaran Hukum Acara. (Poltak Simanjuntak).
Discussion about this post