(Sebuah Wawancara Imajiner)
KEMARIN, dalam obrolan dengan “Koko” — KOTAK KOSONG atau nama lainnya KOLOM KOSONG — adalah bagaimana “Koko” menyampaikan tafsir terkait calon tunggal dan dirinya sebagai peserta pemilihan umum yang memiliki hak untuk dipilih.
(Tafsir yang disampaikan “Koko”….
“Saya, melihat dari sisi moral, bagaimana memberi kesempatan bagi orang lain, eforia punya kemampuan finansial dengan memborong banyak partai, adanya kebanggaan yang sebenarnya tidak pantas dibanggakan.
Sisi lainnya, partai yang tidak punya kader untuk ikut Pilkada (koq ketua partainya tidak mencalonkan diri), dan terpenjaranya kebebasan menetapkan pilihan.)
Di hari keempat kami berada di pondokan “Koko”, sudah disepakati untuk membicarakan keseluruhan tafsir yang disampaikan “Koko”.
Kenapa demikian? Karena kemunculan “Koko” — KOTAK KOSONG atau nama lainnya KOLOM KOSONG — menjadi sesuatu yang kemungkinan tidak akan terjadi lagi, dalam kurun waktu yang panjang.
Kecuali, tetap muncul tipikal bakal calon yang sama, yakni memborong sebanyak-banyaknya partai politik peserta pemilihan kepala daerah.
Nah, itulah yang disebut “Koko”, melihat dari sisi moral.
********
MEMBORONG banyak partai untuk memuluskan persyaratan tahapan pemilihan kepala daerah, memang tidak salah. Tidak ada peraturan yang melarang. Jadi, sah saja.
Sah! Sah! Sah!
“Lantas, apa hubungan sesuatu yang sudah sah dan tidak dipermasalahkan terkait memborong partai dengan moral,” tanya wartawan kami.
“Koko” menyeruput kopinya. Diambilnya kentang goreng, dan perlahan dikunyah.
“Moral itu, sesuatu yang sangat pribadi sekali. Moral itu, bertumbuh dan berperan seiring sejalan dengan prilaku, etika dan tatakrama, kemudian yang lebih spesifik, bagaimana kita berkemampuan memberi ruang lebar kepada orang lain dalam kompetisi yang ver. Karena semua orang punya hak yang sama dalam mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Sejauh persyaratan tahapan dapat dipenuhi dan dipatuhi,” kata “Koko”.
“Bisa dijelaskan lebih menajam lagi,” kata wartawan kami.
“Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, jika sesuai ketentuan persyaratan, bahwa 7 kursi sudah aman dan nyaman, kenapa harus mencari atau menerima dukungan partai politik lainnya. Kenapa tidak memberikan kesempatan kepada bakal calon lainnya untuk mendapatkan sisa kursi lainnnya,” kata “Koko”.
(“Koko” menjelaskan, secara moral — bakal calon kepala daerah yang sudah dapat dukungan yang cukup dari partai politik — seharusnya memberikan peluang kepada bakal calon lainnya untuk mendapatkan dukungan partai politik sesuai peraturan yang berlaku.)
“Kenyataannya, sekarang sudah terjadi borong koalisi partai politik,” kata wartawan kami.
“Itulah yang sangat memprihatikan, kenapa harus dilakukan borong partai. Bukankah lebih manusiawi jika bakal pasangan calon, setelah ditetapkan sebagai pasangan calon, berkompetisi dengan pasanga calon lainnya. Bukan malah melawan “Koko”, yang notabene benda mati,” kata “Koko”.
“Kebanggaan apa yang Anda rasakan, sebagai “Koko” berhadapan face to face dengan calon pasangan tunggal,” tanya wartawan kami.
“Saya tidak merasa bangga sedikit pun. Saya merasa sangat prihatin melihat pasangan calon tunggal, yang harus bertarung dengan saya yang tidak jelas wujudnya, dan yang tidak jelas jenis kelaminnya. Kata kasarnya, saya ini benda mati yang tidak punya rasa atau perasaan, yang tidak punya kekuatan untuk berkampanye atau menggugah hati para calon pemilih,” kata “Koko”.
“Anda terlalu merendahkan diri. Bukankah Anda memiliki kehebatan yang sangat luar biasa, sebagai calon kepala daerah yang direstui oleh peraturan. Andalah calon yang tidak menjalani verifikasi administrasi, tidak menjalani verifikasi faktual dan tidak mengeluarkan cost politics seperti apa yang harus dijalani calon tunggal,” kata wartawan kami.
“Hahahaha….” “Koko” tertawa lepas.
(Ijin warga Kota Pematangsiantar✓Episode pertemuan imajiner bersama si “Koko” kita lanjutkan besok ya…Episode ini akan berkelanjutan hingga 9 Desember 2020
Salam, Ingot Simangunsong)
Discussion about this post