Pematang Siantar | Konstruktif.id
Tuak, atau nira adalah hasil dari aktifitas paragat (penyadap) jika bukan dari Pohon Aren, bisa juga dari Kelapa. Umumnya, dikonsumsi menjadi minuman di kedai-kedai tuak di desa maupun perkotaan.
Dari segi sosio budaya atau kultural, tuak bermanfaat sebagai perekat kekerabatan dan persahabatan. Tuak berfungsi dan bernilai ganda. Selain nilai ekonomi (komersial) juga fungsi kultural.
Ada kebiasaan orang Batak, jika mau memberi upeti adat acap disebut sebagai “Pa si tuak na tonggi” (Uang untuk membeli tuak yang manis).
Aktifitas maragat, sejak lama sudah juga dilakoni para paragat di perantauan. Kemana Orang Batak merantau dan membuka perkampungan baru, maka di sana akan ditanam pohon Kelapa atau Nira. Tujuannya? Untuk diagat (sadap) menghasil tuak.
Di Perdagangan, tersebutlah seorang paragat bermarga Hutahaean. Masih muda, mengaku telah melakoni pekerjaan maragat selama 7 tahun.
“Inilah sumber utama mata pencaharian saya untuk menghidupi rumahtangga. Setiap hari, saya bisa dapat Rp 50 – 100 ribu rupiah dari menjual tuak,” ujarnya, sesaat setelah turun dari atas pohon Nira yang diagatnya.
Pohon nira itu ternyata milik orang lain yang disewanya. “Saya menyewa lengan nira ini Rp 150 ribu selama 6 bulan. Dalam 1 pohon bisa terdapat 5-8 lengan,” terang Hutahaean.
Selama 7 tahun jadi paragat, Hutahaean tidak kesulitan menjual tuak yang dihasilkannya. “Sering kurangpun untuk pelangganku. Apalagi jika seperti hari ini ada tamu seperti rombongan orang bapak. Sangat kuranglah,” kata Amani Dewan Hutahaean, sambil membagi tuak dari jeriken utama ke jeriken-jeriken sesuai jumlah pelanggan.
Ke depan, bisa jadi paragat dan menanam pohon aren atau kelapa masih tetap jadi peluang ekonomi–komersial, seraya berfungsi sebagai alat memperkuat silaturahmi bagi orang Batak–kultural. (Poltak Simanjuntak).
Discussion about this post