Kalimantan Timur | Konstruktif.ID – Tidak semua orang bahagia menjadi warga ibu kota baru yang akan dibangun di Kalimantan Timur. Salah satunya adalah Yati Dahlia, warga Suku Baliq, di Sekayu, Penajem Paser Utara. Dia bahkan tegas menolak kehadiran pusat Indonesia di kampungnya kelak.
“Kami sangat keberatan, khususnya masyarakat Paser Baliq, kalau IKN di sini, pembangunan yang ada saya rasa enggak melibatkan masyarakat adat yang ada di sini. Bahkan pemuda-pemudinya kesusahan untuk mencari pekerjaan,” kata Dahlia.
IKN yang disebut Dahlia adalah Ibu Kota Negara. Presiden Jokowi telah menetapkan dimulainya proyek pemindahan ibu kota itu pada akhir 2019 lalu. Desa tempat tinggal Dahlia bahkan sudah dipilih menjadi titik nol ibu kota baru. Sayang, seperti dituturkan Dahlia, warga Suku Baliq tidak pernah diajak berembuk soal itu. Padahal mereka khawatir dampak buruk pindahnya ibu kota. Hutan mereka sudah rusak, dan masyarakat setempat akan tersisih.
Dahlia mengungkapkan pendapatnya dalam diskusi “Di Balik Mega Proyek Ibu Kota Negara Baru,” Selasa (27/10) sore. Diskusi diselenggarakan sejumlah lembaga masyarakat di Kalimantan Timur.
Polemik pemindahan ibu kota sebenarnya sempat tertimbun pandemi. Namun, penetapan Jalan Jokowi di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab beberapa hari lalu, mengangkat kembali polemik tersebut. Apalagi diketahui, Januari lalu Jokowi menunjuk Putra Mahkota UEA, Sheikh Mohamed bin Zayed sebagai Dewan Pengarah pembangunan ibu kota baru. Negara itu juga menjanjikan investasi senilai 6,8 miliar dollar AS atau setara Rp 314,9 triliun di sana.
Apa yang menjadi keresahan Dahlia, nampaknya akan bertepuk sebelah tangan. Keputusan pemerintah pusat tentu sudah bulat. Warkhatun Najidah, akademisi Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur menilai, secara hukum dan politis, kemungkinan membatalkan proyek ini kecil sekali. Karena itu, tugas pemerintah lokal adalah membela kepentingan warganya. Pemerintah dan DPRD provinsi Kalimantan Timur harus menginventarisir, apa yang harus dilindungi, mendengar suara rakyat, dan memperjelas urusan-urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan lokal. Termasuk di dalamnya, menyampaikan dengan jelas ke pusat, bahwa ada sebagian masyarakat yang menolak.
“Jadi dalam proses penentuan, substansinya Kalimantan Timur itu ikut di dalamnya. Tunjukkan bahwa kita bukan ruang kosong. Ini kita punya potensi luar biasa semacam ini, bukan hanya potensi ekonomi tetapi potensi kerusakan juga ditunjukkan,” kata Najidah.
Tidak mungkin, lanjut Najidah, pemerintah pusat akan memotret secara nyata masalah yang ada di daerah. Karena itulah, peran pemerintah lokal harus terlihat. Keterlibatan itu termasuk dalam penentuan peruntukan wilayah, karena nyatanya di kalangan masyarakat sudah beredar kabar soal fungsi titik-titik tertentu di masa depan. Najidah mengingatkan, memindahkan ibu kota bukan sekadar membangun gedung-gedung, tetapi juga manusia di dalamnya.
Memindahkan Masalah
Pemerintah pusat sebenarnya sudah membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terkait proyek ibukota baru. Dalam dokumen itu, ada empat hal yang dibahas yaitu keberlanjutan tata air dan perubahan iklim, perlindungan habitat tumbuhan dan satwa liar, dinamika sosial budaya termasuk ekonomi di dalamnya serta pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Sayangnya, menurut Wahyu A Perdana, kajian yang berujung pada ditemukannya banyak masalah itu, tidak diakhiri dengan pembatalan proyek ibu kota. Wahyu adalah manajer kampanye pangan, air dan ekosistem esensial, Eksekutif Nasional Walhi.
“Seringkali Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk kepentingan justifikasi. Isi dan temuannya apa, keputusannya berbeda, tetap melakukan justifikasi,” kata Wahyu.
Dalam konteks keberlanjutan dan tata air misalnya, pemerintah sendiri berkesimpulan wilayah calon ibu kota baru, daya dukungnya tidak memadai. Peningkatan populasi nantinya, akan membuat masalah air seperti yang dialami Jakarta saat ini, yaitu kekurangan air di satu sisi dan banjir di sisi lain. Wahyu bahkan menyebut, ibu kota baru akan diikuti pemindahan bencana dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Discussion about this post