Mantan Bidan yang Dua Kali Gagal CPNS Ini Banting Stir Jadi Penjual Ikan: Bolak-balik ke Luar Negeri
Jakarta / Konstruktif. id
Bau tak sedap dan jalanan licin adalah hal yang dapat digambarkan ketika memasuki tempat penjualan ikan di Pasar Pondok Gede, Kota Bekasi.
Aktivitas jual beli tampak terlihat jelas di lokasi tersebut, termasuk pedagang ikan yang sudah terlihat terampil saat membersihkan ikan untuk pembelinya.
Meski begitu, ada satu diantara pedagang ikan di Pasar Pondok Gede yang ternyata sempat berprofesi sebagai bidan.
Dia adalah Julianti atau akrab disapa Yanti (30). Sepintas, memang tak terlihat bila Yanti dulunya merupakan bidan di wilayah Kabupaten Bangkalan, Madura.
Tangannya yang terampil dan lihai, seolah menutupi profesi aslinya di tahun 2006 sampai 2009 ini.
Yanti menuturkan, ia memang memimpikan untuk menjadi bidan sejak kecil. Namun, karena orang tuanya yang hanya bekerja sebagai penjual ikan di pasar, membuatnya enggan untuk berkata jujur perihal impiannya.
Sejak Sekolah Menengah Atas (SMA), Yanti mulai menghabiskan waktunya untuk belajar. Dia gigih belajar agar mendapatkan beasiswa ke sekolah bidan guna mewujudkan impiannya.
Bersambut baik, rupanya ia mendapatkan beasiswa di salah satu Poltekkes di Kota Surabaya, Jawa Timur.
“Saya bidan dulunya. Saya enggak bilang sama ibu saya kalau saya dapat beasiswa. Kalau enggak dapat saya juga enggak nerusin sekolah. Karena dulu kan ibu saya masih merintis usaha,” ceritanya kepada TribunJakarta.com, Rabu (6/5/2020).
Selama tiga tahun, Yanti berhasil menyelesaikan D3 Kebidanannya dan berlanjut bekerja menjadi bidan di Madura.
Menurutnya, menjadi seorang bidan di Jakarta sangat berbeda dengan di desa.
Bila di Jakarta bidan mendapatkan gaji, namun di desanya ia hanya menerima uang bila ada pasien yang memberikannya.
“Ikut CPNS sudah dua kali gagal. Jadi di kampung perwilayah. Satu wilayah satu bidan dan ibaratnya kita serba bisa dan harus siap,” katanya.
“Karena seorang diri, namanya orang melahirkan enggak bisa diprediksi kan. Jadi benar-benar harus siap 24 jam. Pegang uangnya pun kalau ada yang kasih dari pasien pas melahirkan. Jadi saya lebih ke pengabdian,” lanjutnya.
Mengetahui hal tersebut, Yanti kerap berkomunikasi dan menumpahkan keluh kesahnya pada sang Ibu.
Klimaksnya saat ia lelah dan ingin menyudahi menjadi bidan di desanya.
“Saya kok capek (lelah) ya,” kata Yanti ke Ibunya.
Tanpa basa-basi, ibunya segera menjawab dan menyuruhnya untuk ke Bekasi guna meneruskan usahanya.
Penuh pertimbangan, Yanti pun akhirnya mengalah dan melanjutkan usaha orang tuanya sebagai penjual ikan di pasar.
“Saya niatnya membantu ibu saya. Kasian juga sama dia. Akhirnya saya merantau ke sini dari Madura pas tahun 2010,” katanya.
Bila dinilai secara materi, Yanti mengatakan pendapatannya saat ini terbilang besar.
“Secara materi besaran di sini ya. Ini di sini bersih bisa dapat Rp 1,5 juta perhari. Jadi kalau dibandingin secara ekonominya enakan kondisi saat ini,” jelasnya.
Miliki usaha lain
Meskipun keuntungan bersih perharinha terbilang lumayan, Yanti menuturkan uang tersebut masih harus dibagi dua untuk ibunya.
Sebab, sejak awal usaha tersebut milik ibunya dan ia hanya melanjutkan saja.
Untuk itu, ia memiliki usaha lain yakni menjual baju impor yang dibelinya langsung dari Thailand.
Tiap satu bulan sekali ia selalu berpergian ke Thailand untuk membeli sendiri barang dagangnya bersama sang suami, Adit.
“Saya makanya punya usaha lain, yakni olshop. Saya beli baju langsung ke Thailand. Jadi baju di sana bisa dibilang kualitas butik bila di sini tapi harga kaki lima. Jadi saya beli murah tapi bisa jual harganya terjangkau,” katanya.
Selain itu ia juga menjual makanan yang tak ada di Indonesia dan dibelinya langsung di Singapura.
“Jadi saya sudah biasa ke Thailand sama ke Singapura. Alhamdulillah bisa dapat sekira Rp 25 juta perbulannya,” katanya.
Namun, sejak Maret hingga saat ini ia belum belanja kembali imbas pandemi Covid-19.
“Mungkin memang rezeki saya di usaha. Jadi saya coba tekuni yang ada meskipun saat ini olshop agak terganggu karena sudah dua bulan belum belanja,” tandasnya. ( Tribun Jakarta).
Discussion about this post